Page

3.09.2012

Fanfictions - Hanya Dia

Chapt.3

Haloo...
Saya punya fanfiksi di sini..
Saya langsung posting yang chapt.3 Aja ya..
Kalau mau baca yg chapt.1 dan 2 silahkan klik di sini. Oke!
Sebenarnya sudah saya posting di FFN. Tapi, yaaa pengen juga publish di sini,,
Ohoho...

=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=0=

Warning : AU, OOC, typo,
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Summary : Naruto harus rela tinggal di pedesaan untuk sementara karena tingkah lakunya yang manja. Sampai ia berubah menjadi lebih baik. Ia tak kan bisa pulang kerumahnya. Dengan seorang gadis yang cantik namun galak, ia memulai cara hidup yang baru. (Chap. 3)
.
.
.
Hanya Dia
*3*
.
.
.
"HAAAAAHHH...? TIDAK MAU...!" pekik Naruto keras membuat Sakura harus menutup kedua telinganya.
"Bisa bicara lebih tenang nggak, sih?" tanya Sakura sebal. Belakangan ini, Naruto sering sekali teriak-teriak. Bekerja, mencuci piring, menyiram tanaman, membersihkan rumah, bangun pagi, semunya ditolak dengan teriakan. "Ah, kalau suaramu habis, baru tahu rasa." batin Sakura.
"Habisnya... habisnya... kau selalu memberikan pekerjaan yang sulit, sih."
"Kau seharusnya berterimakasih padaku. Aku memberikanmu tugas itu karena hasilnya lumayan. Dengan begitu, kan kau bisa cepat pulang ke Tokyo." Sakura berkata tanpa jeda. Membuat Naruto hanya diam menatapnya. Mau tak mau, Naruto membenarkan kata-kata Sakura.
"Tapi, belakangan ini kau selalu memberikan tugas yang sulit. Dan, hasilnya tidak seberapa." Cibir Naruto.
"Ya memang seperti itu. Kami warga desa Yosano tidak memiliki banyak uang. Pekerjaan kami hanya petani, pedagang, penjahit, dan beberapa ada yang pergi ke Kyoto untuk mencari pekerjaan yang berpenghasilan besar. Karena itulah, kami tidak bisa memberikan banyak uang." Jelas Sakura panjang lebar. Yah, walau sebagian pernyataannya tidak benar. Semua bahan makanan yang selama ini Naruto dapatkan, sebenarnya sudah dibeli oleh ayahnya. Juga, upah bekerja Naruto –nantinya- adalah uang yang diberikan ayahnya pada para penduduk untuk diberikan pada Naruto sebagai upah bekerja. Jadi, para penduduk hanyalah 'penutup'.
"M-maksudku bukan begitu." Naruto menggaruk lehernya. Merasa tidak enak karena membuat Sakura mengatakan hal seperti itu.
"Maka dari itu, kau harus bersyukur. Tidak semua orang beruntung sepertimu. Kau hanya diberikan 'ujian' dari ayah dan bibimu untuk belajar mandiri. Agar tidak selamanya kau bergantung pada orang tua. Aku juga teman-temanku disini juga begitu, kami membantu orang tua kami bekerja untuk mencukupi kehidupan kami. Ibuku hanya seorang penjahit. Toko bunga kami memang bisa membantu. Ayahku pergi ke Kyoto dan bekerja sebagai pelatih Kempo." Mimik wajah Sakura berubah datar saat menatap Naruto. Naruto diam mendengarkan Sakura. Ia menunduk.
"Sakura-chan. Kenapa kau menceritakan ini padaku?" tanya Naruto lirih.
"Agar kau mau belajar bersyukur dan mandiri." Sakura benar. Selama ini, Naruto sangat jarang mengucap kata syukur. Selama ini ia selalu bergantung pada Ayah. Minta ini.. minta itu.. memaksa ini.. memaksa itu.. Tak pernah mau mengerti Ayahnya yang selalu pulang malam karena mengurusi pekerjaan kantor. Sakura benar. Ia memang kelewat manja.
"Aku... bersyukur bisa... mengenalmu."
.
.
.
.
.
Mata sapphire pria itu tak henti-hentinya menatap figura wanita berambut merah yang digenggamnya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecut. Mengingat kejadian berpuluh tahun lalu saat pertama kali ia bertemu wanita dalam figura itu. Saat pertama ia jatuh cinta pada gadis tomboy yang selalu meremehkannya. Saat itu, saat gadis kecil itu reflek memeluknya karena ketakutan. Saat kedua mata sapphire miliknya bertemu dengan kedua mata bulat milik sang gadis berambut merah. Rambut merah yang menjadi ciri khas keluarganya. Uzumaki. Ya, Uzumaki Kushina.
"Kalau kau melihatku sekarang, mungkin kau akan memanggilku girly-boy lagi. Ya, Kushina?"
FLASHBACK #ON
"Desa yang indah. Apalagi saat musim semi seperti ini." Ujar Minato kecil saat pertama kali menapakkan kaki di tanah Yosano. Di sampingnya, sang kakak yang rambut pirangnya dikuncir kuda hanya mengangguk-angguk menyetujui.
Tsunade mengusap matanya. Masih mengantuk. Bagaimanapun, perjalanan dari Tokyo ke Yosano memang memakan waktu yang cukup panjang. Ikatan rambutnya pun sudah semrawutan karena ia tidur di mobil. "Hm.. penginapannya juga bagus." Ucapnya setengah sadar.
"Hei, lihat itu, Minato." Seorang bocah berambut coklat yang berdiri di samping Minato menunjuk ke arah rumah di sebelah penginapan.
"Apa? Itu pohon apel." Minato mengernyitkan dahi. "Apa yang kau maksud apelnya, Asuma?"
Asuma menggeleng. "Lihatlah, helaian rambut merah itu."
Minato menajamkan matanya. Perkataan temannya ini sudah membuatnya penasaran. Ada helaian rambut merah panjang dari salah satu rerimbun dedaunan pohon apel.
"Apa? Jangan-jangan itu hantu." Tsunade nimbrung diantara Asuma dan Minato.
"Kalian sedang apa, anak-anak?" ketiganya menoleh.
"Tidak apa-apa kok, ayah." Jawab Asuma. Minato tersenyum.
"Yasudah, ayo kita bawa barang-barang kita."
Tsunade dan Minato mengikuti Asuma dan ayah Asuma. Sarutobi Hiruzen.
Tsunade dan Minato adalah sepasang kakak-adik yatim piatu. Keduanya kehilangan orang tua pada kecelakaan maut yang menyebabkan Tsunade harus menjalani terapi untuk dapat berjalan lagi. Saat itu, keduanya sangat panik karena mereka sudah tidak memiliki siapapun. Untunglah, paman mereka, Hiruzen mau merawat mereka. Dengan harta warisan kedua orang tua mereka, Tsunade dan Minato hidup.
"Aku pilih kamar yang ini" seru Tsunade saat mereka melewati sebuah kamar yang agak luas.
"Semua kamar itu sama, Tsunade." Hiruzen menepuk bahu Tsunade. "Ayo, kalian cepat mandi dan istirahat."
"Baik..!"
0
Minato duduk di teras penginapan sendiri. Asuma sedang mandi. Tsunade entah sedang apa di dalam kamarnya. Paman –begitu biasa Minato dan Tsunade memanggil- Hiruzen sedang berkunjung ke rumah salah satu kenalannya. Jadilah, ia hanya sendiri sekarang.
Sraak...!
Suara yang berasal dari pohon apel di rumah yang berada tepat di sebelah penginapannya. Helaian merah itu terlihat lagi. Namun, belum terlihat siapa pemiliknya. Tiba-tiba seorang gadis berambut merah terang memasuki halaman rumah itu dan langsung menghampiri pohon apel. Dan membenarkan posisi kacamatanya.
"Mau sampai kapan berada di situ, Kushina-chan?" Minato memperhatikan gadis berambut merah terang itu yang terus mendongak.
Srakk...! Sraak..! Bruaaagh...!
"AWWWWWWWWWW...!" Seorang gadis berambut merah –lebih gelap dari si kacamata- kini jatuh terduduk di depan gadis berkacamata itu.
"Apa kau baik-baik saja, Kushina-chan?" tanya si kacamata.
"Kushina?" batin Minato.
"Apa yang kau lihat, girly-boy?" Minato membelalakkan mata saat gadis berambut merah yang baru saja berdiri dari jatuhnya menunjuk-nunjuknya dengan wajah membunuh.
"Ah? Aku? Tidak.. tidak ada." Minato mengangkat kedua tangannya, yang mengartikan; tidak.
"Lalu, apa yang kau lakukan disana?" tanya gadis itu penuh selidik. "Dan.. ngomong-ngomong aku belum pernah melihatmu."
"Aku hanya sedang berlibur disini." Jawab Minato tenang. Tiba-tiba seorang anak laki-laki sebayanya datang di di belakang gadis berkacamata.
"Kakashi. Apa yang kau lakukan di sini?" si gadis yang sangat terlihat tomboy –dari nada bicaranya saja sudah terlihat- berkacak pinggang menatap anak laki-laki berambut keperakan itu.
"Aku hanya jalan-jalan. Dan dari jauh, aku melihatmu jatuh lagi dari pohon." Jawab si rambut perak bernama Kakashi. "Yo! Kau yang dari Tokyo, ya?" Kakashi beralih pada Minato yang tetap duduk di teras.
Minato mengangguk mengiyakan. "Aku Minato. Namikaze Minato."
"Ah, siapa yang bertanya padamu?"
"Aku ingin tahu..!" seru si kacamata yang bernama Karin. "Ada teman baru, Kushina-chan." Karin tersenyum pada Kushina.
"Ah, aku tidak peduli." Kushina melambaikan tangannya sekilas di depan wajah. "Aku ingin mandi. Daah..." Kushina berlari masuk ke dalam rumahnya. Rambut merah panjangnya berkibar-kibar tersambar angin.
"Aku Hatake Kakashi. Senang bertemu denganmu," Minato berdiri saat Kakashi sampai di depannya.
"Jadi namamu Minato, ya? Namaku Karin. Haruno Kain. Senang bertemu denganmu." Karin tiba-tiba muncul di belakang Kakashi. "Sahabatku tadi itu, namanya Kushina. Uzumaki Kushina. Di..."
"Aku tahu dia perempuan. Tetapi, dia bahkan terlihat seperti anak laki-laki." Ujar Kakashi memotong kata-kata Karin.
"Sangat terlihat." Gumam Minato.
"Selalu saja kau memotong kata-kataku." Karin meninju pelan lengan Kakashi. "Ma'af ya, Kushina-chan memang tidak terlalu suka dengan orang asing. Apalagi laki-laki." Jelas Karin.
"Tidak apa-apa." Jawab Minato seraya tersenyum. "Senang berkenalan dengan kalian."
0
"Kenapa kalian mengajaknya ikut, sih?" bisik Kushina pada Karin yang berjalan di sampingnya. "Lihatlah wajahnya, terlihat seperti Girly-boy. Benarkan? Dia pasti tidak bisa diandalkan." Kushina melirik sebal ke arah Minato yang berjalan bersama Kakashi di belakangnya dan Karin.
"Kushina-chan selalu saja. Dia orang yang baik, kok." Jawab Karin ikut berbisik.
"Darimana kau tahu? Bagiku semua laki-laki sama saja. Sama-sama tidak bisa dipercaya. Kecuali, Kakashi." Kushina memanyunkan bibirnya. Mengingat tentang ayahnya. Benci.. kesal.. juga sedih menyelimutinya jika teringat akan ayahnya.
"Ah, itu menurutmu saja." Sanggah Karin. "Dia ramah kok. Murah senyum. Dan, oyah.. senyumnya sangat manis. Kyaa..." Karin menjerit tertahan.
"Kau ini bagaimana, sih? Kau bilang, kau menyukai Kakashi. Jangan-jangan kau sekarang malah menyukai si Girly-boy itu."
"Tidaaaak...!" seru Karin cepat. Sedetik kemudian ia menutup mulutnya. Kushina dan Karin menoleh ke belakang. Dimana para anak lelaki itu berjalan.
"Apa?" tanya Kakashi tidak peduli. Ia melanjutkan obrolannya dengan Minato. Karin menatap Kushina dengan deathglare-nya.
"Kau ini, selalu histeris jika aku bercanda seperti itu. Memang seberapa besar rasa sukamu pada Kakashi itu." Kushina kembali berjalan diikuti Karin.
"Aaaaah, jangan menanyakan ituu..." wajah Karin perlahan memerah.
"Dasar." Kushina berlalu. "Kau terlalu berlebihan."
"Hei, Kushina-chan. Kau bilang begitu karena kau belum pernah merasakan. Coba saja kau merasakan apa yang disebut 'jatuh cinta' Aaaah, kau pasti akan sepertiku." Karin menepuk bahu Kushina.
"Bagiku, laki-laki itu sama saja. Tidak ada yang bisa dipercaya. Kecu..."
"Kecuali, Kakashi." Potong Karin.
"Ah, aku tidak peduli." Kushina melipat kedua lengannya dan meletakkan di belakang leher. Serasa bersandar.
"Tidak ada laki-laki yang bisa dipercaya."
0
0
0
"KYAAAAAAAAA...! Kariiiiiiiiiin... Kakashiiiiiiiiiiiii... tolong akuuu...!" jerit Kushina seraya mencoba mengangkat tubuhnya dari mulut jurang. "Argh... Siaal..!" -lagi kakinya terpeleset. Gerimis yang turun kecil-kecil membuat tanah menjadi licin. Kakinya tak bisa bertahan lama di sana.
'Ayolah, Kushina! Ini sesuatu yang biasa, kan?' Kushina menenangkan dirinya sendiri agar tidak panik. Namun, apa daya? Hatinya tetap diselimuti perasaan takut.
"Kami-sama. Tolong aku." do'anya dalam hati. Demi apapun. Kushina takut setengah mati. Ia memang sering bergelantungan di pohon apel di depan rumahnya. Tapi, ini bukan di pohon apelnya. BUKAN..! melainkan di atas jurang yang bahkan tak terlihat ujungnya –mungkin karena gerimis dan mendung. JURANG..! JURANG..!
"KARIIIIIN...! KAKASHIIIII...! TOLOOOOOOONG...!"
'Ah, ini semua salahku. Mungkin aku terlalu emosi. Ta-tapi, salah siapa Karin menuduhku menyukai Girly-boy itu. Okelah, dia memang agak tampan. Tapi, yang namanya orang asing, ya tetap orang asing. Tidak bisa dipercaya begitu saja.' Kushina mengeratkan pegangannya pada akar yang melintang di atasnya.
"SIAPAPUN...! TOLONG AKUUU...!" Kushina memejamkan matanya, putus asa. Karin pasti sudah pulang. Karena tadi ia meminta Karin untuk membiarkannya sendiri –dan menyuruhnya pulang juga. Ia takut. Takut. Sangat takut.
Tes...
Air matanya meluncur menuju jurang di bawahnya. Kushina ingin menyeka air matanya. Namun, kedua tangannya masih ia gunakan untuk menahannya agar tidak jatuh.
Tiba-tiba seseorang mengulurkan tangannya di atas Kushina. "Ayo, naik."
Kushina membuka mata. 'S-si girly-boy itu.' batinnya berusaha mengehentikan tangisnya. "H-hwaaa..." tangis Kushina semakin menjadi. Bukan tangis yang terjadi karena ketakutan. Bukan.. sama sekali bukan. Melainkan, rasa lega yang membuatnya kembali menangis.
"Jangan menangis. Ayo naik..." ujar Minato berusaha menenangkan Kushina. Tangannya masih menggantung di udara menunggu Kushina menyambutnya.
Perlahan Kushina melepaskan tangan genggaman tangan kanannya pada akar yang membuatnya masih bisa bertahan. "A-aku tidak bisa. A-aku takut.."
"Jangan takut. Aku di sini."
Deg!
Kushina membulatkan mata. "Jangan takut. Aku ada di sini." Kalimat itu berputar di otaknya. 'Jangan takut..! jangan takut..! Jangan takut, Kushina..!' serunya dalam hati.
Dengan rasa percaya yang kuat, ia berhasil melumpuhkan rasa takutnya dan meraih tangan Minato. Minato tersenyum. Sedetik kemudian, ia mulai menarik Kushina dengan segenap kemampuannya.
"Terima kasih." Kushina mengusap air matanya. Suaranya lirih bergetar. "Hiks.." isakannya masih terdengar.
"Tidak apa-apa." Minato tersenyum. "Kakashi dan Karin bilang, mereka ma..."
"Hwaaaaa..." tangis Kushina terdengar lagi. Namun, bukan hanya tangisan. Entah secara sadar atau tidak, Kushina memeluk Minato karena masih ketakutan. Kedua tangannya yang gemetaran mencengkeram erat jaket putih –bergaris biru- milik Minato.
"H-hei, Kushina-san. L-lebih baik kita langsung pulang. Karena sudah sore." Tangis Kushina berhenti tiba-tiba. Kushina mendongak. Menatap seseorang yang tersenyum ke arahnya. Matanya masih sembah karena mennagis. Pandangan Kushina tak lepas dari wajah pemuda tampan di hadapannya. Sedetik kemudian ia langsung melepaskan cengkramannya dari jaket Minato.
"K-kenapa kau ada disini? Dimana Karin dan Kakashi." Tanya Kushina seraya menghapus sisa-sisa air matanya.
"Mereka ada di dekat sungai." Minato menunjuk direksi di belakangnya.
"Baiklah. Ayo kembali." Kushina berjalan melalui Minato begitu saja. Minato masih diam. Belum bergerak. "Ngomong-ngomong.." Kushina menghentikan langkahnya. Membuat Minato langsung menatap ke arahnya. "Terima kasih sudah menolongku..." Kushina menoleh ke belakang. "Minato."
0
"Kushina-nee, dari mana? Kok kotor begitu." Gadis cilik itu menarik-narik rambut merah Kushina. Membuat gadis itu memekik kesakitan.
"Aaaaww... sakit, Sara-chaaan." Kushina menarik rambut merahnya yang ada di genggaman Sara kecil. "Aku hampir jatuh dari bukit tahu." Kushina berlalu menuju dapur.
"Apa?" seorang wanita keluar dengan tiba-tiba dari salah satu ruangan. "Kau hampir jatuh dari bukit? Lalu, bagaimana? Apa kau terluka? Kushina? Kenapa bisa sampai jatuh."
"..." Kushina menatap malas wanita berambut merah yang tak lain adalah ibunya, Uzumaki Mito.
"Kaa-san banyak tanya." Celetuk Sara disetujui oleh anggukan Kushina.
"Aku tidak apa-apa, kok. Beruntung, karena ada yang menolong." Wajah Kushina merona tipis mengingat kejadian tadi. Mengingat Minato.
"Siapa? Kakashi? Atau, Karin?" tebak ibunya.
"Bukan. Tapi, teman baruku." Kushina mengambil gelas dari lemari kaca dan membuka lemari pendingin.
"Teman baru? Siapa?" tanya Sara ingin tahu. Ia menatap kakak perempuannya –yang tengah minum- dengan wajah khas anak-anaknya.
"Penghuni penginapan sebelah. Dia datang dari Tokyo kemarin."
"Oh, yang datang bersama Hiruzen ya?" sang ibu mengangguk-angguk mengerti. "Jadi kau berteman baik dengan Asuma?"
'Asuma?' Kushina mengernyitkan dahi. "Siapa Asuma?"
"Lho? Asuma itu satu-satunya putra Sarutobi Hiruzen. Memangnya, siapa nama teman barumu." Kushina kembali mengingat-ingat. 'Kemarin, Minato memang datang bersama seorang laki-laki. Lalu, seorang anak laki-laki –yang mungkin seumuran dengannya- berambut coklat, dan seorang gadis pirang yang cantik –yang sepertinya sedikit lebih tua darinya- yang kuduga adalah kakaknya.'
"Hei, Kushina-nee. Kau melamun, ya?"
"Ah, tidak. Tidak kok. Namanya, Minato. Namikaze Minato." Kushina kembali berfikit. 'Loh, Kaa-san bilang tadi namanya Sarutobi Hiruzen. Tapi, kenapa marga Minato bukan Sarutobi? Atau...?"
"Namikaze Minato? Ooooh, iya. Putra Tobirama. Aku ingat. Hiruzen sepertinya merawat Minato dan kakak perempuannya, karena kedua orang tua mereka sudah meninggal." Kushina tertegun.
Minato... tidak punya orang tua?
Kushina malu. Malu pada dirinya sendiri. Minato sudah tidak memiliki orang tua. Tapi, ia terlihat sangat tegar dan ikhlas. Namun, ia yang hanya kehilangan ayahnya sejak setahun lalu karena orang tuanya bercerai, masih sering marah-marah. Ia benci pada ayahnya. Karena itu ia –dulunya- membenci semua laki-laki, kecuali sahabatnya, Kakashi.
"Oi, Kushina-nee. Mandi sana..! Nee-chan bau tahu." Ujar Sara sambil menutup hidungnya.
"Ehehe..." Kushina menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya..iya.. aku mandi."
0
"Apa, sih? Kau kotor sekali?" semprot Tsunade sesaat setelah Minato memasuki ruang dimana ia dan Asuma tengah menonton televisi. Melihat keadaan jaket putih bergaris biru adik laki-lakinya itu, Tsunade langsung menatapnya dengan pandangan jijik. Haha.. "Dan kau bau."
"Hah? Serius?" Minato menciumi aroma tubuhnya sendiri. Yaaah, mau bagaimana lagi? Memang sedikit masam sih. Haduuh...
"Hahaha... Minato si cowok populer yang bau." Tawa Asuma membuat Minato nyengir tanpa dosa.
Sebutan "cowok populer" bukanlah hal yang biasa untuk Minato. Pemuda pirang bermata sapphire itu memang dikagumi banyak anak perempuan di sekolahnya. Yaah, selain karena ketampanannya, prestasi di bidang akademik dan non-akademik Minato juga sangat baik. Juara Ke-3 Olimpiade Biologi tingkat Nasional dan tim basketnya yang berhasil sampai tingkat provinsi karena strateginya. Tinggal menunggu babak final di akhir musim semi nanti. Waaah... siapa yang tidak suka kapten basket yang tampan dan pandai? Ahaha...
"Yaaah... ada sesuatu terjadi." Minato kembali berjalan menuju kamarnya. "Aku mau mandi, ah." Setelah mengambil handuk birunya, ia berjalan menuju kamar mandi di belakang.
"JANGAN LUPA RENDAM BAJUMU DENGAN AIR DAN DETERJEN...!"
FLASHBACK #OFF
"Aaaaah... bagaimana cara menggosoknya? Masa' harus masuk ke sungai, sih?"
"Kenapa? Kau takut? Takut kulitmu yang mulus itu tergores?" Sakura berbalik menatap Naruto yang sedang menggenggam tali berwarna coklat yang melingkar di leher seekor kerbau.
"Apa, sih? Kakek tua itu menyebalkan." Gerutu Naruto tanpa memperdulikan Sakura.
"Kakek Oonoki itu baik, kok. Walau sedikit keras kepala. Hihi.." Sakura tersenyum. "Sudahlah, cepat kerjakan. Jangan membuang waktu. Karena setelah ini kita harus ke pasar untuk membeli makanan untukmu." Sakura berjalan ke arah sebuah pohon sakura di dekat sungai. Sayang sekali sekarang sudah musim panas.
"Bantu aku, donk.. Dia tidak mau jalan." Naruto menarik-narik tali di genggamannya.
"Tidak mau, weee..." Sakura menjulurkan lidahnya mengejek Naruto. Kemudian, ia duduk bersandar di bawah pohon sakura itu.
.
.
.
.
.
Tok..tok..tok...
Suara ketukan pintu itu membuat wanita berkacamata itu menghentikan aktifitasnya di dapur. Ia meninggalkan pisaunya dan berjalan menuju pintu depan.
Ckreek...
"Hah.. Tadaima."
"Loh? Kukira kau pulang minggu depan?" tanya Karin saat mendapati pria berambut perak itu berdiri di ambang pintu rumahnya.
Pria itu langsung duduk setelah Karin membuka pintu lebih lebar. "Hari ini sampai seminggu ke depan aku libur. Jadi, lebih baik aku pulang. Oya, kemana Sakura?"
"AH? Oya, aku ada kabar bagus. Putra Minato sudah datang sejak seminggu lalu. Astaga, apa kau tahu? Dia sangat mirip dengan Minato saat kecil dulu. Yaah, walau kukira sifatnya sangat mirip dengan ibunya, Kushina." Cerita Karin tanpa jeda.
"Namikaze Naruto, ya? Syukurlah. Jadi, Sakura sekarang bersamanya?"
"Ya." Karin mengangguk senang. "Ngomong-ngomong, kau mau kubuatkan makan apa... Kakashi?"
.
.
.
.
.
"Argh..! Berhentilah mengibaskan ekormu padaku..!" teriak Naruto kesal saat lagi-lagi ia kena kibasan ekor dari kerbau coklat itu.
"Ahahahaha... ahahaa..." Sakura tertawa sambil memegangi perutnya saat melihat ekspresi Naruto yang begitu lucu saat marah-marah pada kerbau itu.
'Apa itu? Dia memang bukan perempuan. Lihatlah cara tertawanya. Sama sekali bukan cara tertawa seorang perempuan. Ckck.' Naruto menatap heran pada Sakura yang masih juga tertawa sambil memegangi perutnya. "Lihat saja pembalasanku. Seenaknya menertawakanku." Gerutunya.
Sakura menghentikan kegiatan tertawanya. Ia kembali mengawasi Naruto dan pekerjaannya. Namun, segaris senyum masih terlukis di bibirnya. Ia teringat akan sosok sahabat sekaligus orang yang sudah ia anggap sebagai kakaknya. Yahiko.
'Haaah, kau membuatku ingat pada Yahiko-nii, Naruto.' Ucap Sakura dalam hatinya. "Semuanya, sangat mirip dengan Yahiko-niichan. Bahkan, senyumnya juga. Yahiko-niichan, aku..."
"Hyaaah... apa ini? Apa ini yang berjalan di kakiku. Waaaaaa... Sakuraaaa..." Sakura menatap Naruto yang tengah berusaha berjalan ke tepi sungai.
"Waaa... uwaaa..." Naruto berjingkat-jingkat menuju tepi. "Uwaaaaaa...!"
BYUAAARRRR...
"NARUTO..!" Sakura berlari menuju tepi sungai. "NARUTO..!"
"Nii-chaaaaaaan...! Toloooong...!"
Sekelebat bayangan bayangan masa lalu datang di tengah kepanikan Sakura.
"Tolooong...!"
BYUAR...
Tanpa berfikir panjang, Sakura langsung menceburkan diri ke dalam sungai yang agak jernih itu.
"Aku... tak mau lagi... kehilangan... ORANG YANG BERHARGA..." hanya itu yang ada dalam fikiran Sakura saat itu. hanya itu..
"Dimana kau.. Naruto? Naruto.. Dimana kau.. Na-"
Tiba-tiba lengan Sakura di tarik oleh seseorang ke permukaan. Sakura sempat memberontak karena ia masih ingin mencari Naruto.
"Sakura-chan." Sakura menoleh mendengar panggilan itu.
"Naruto?"
"K-kau kenapa?" pertanyaan polos Naruto membuar air mata Sakura meleleh dan perlahan turun melewati pipinya.
"Hks... Huuuhh..." Sakura langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menyembunyikan tangis kekhawatirannya dan kelegaannya. Menangis karena lagi-lagi ia ingat dengan Yahiko, lega karena melihat Naruto tidak apa-apa.
"S-Sakura-chan. Kau kenapa?" Naruto mengguncang pelan kedua bahu Sakura. "H-Hei, jangan menangis."
"A-aku takut." Ucapnya lirih di sela-sela tangisnya.
"Jangan takut.. Aku ada di sini."
.
.
.
.
.
TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar