-->
Aku tak
mengerti kenapa ini bisa terjadi. Yang jelas, aku sudah tak bisa memendam apa
yang kurasakan selama ini. Aku terlalu menyayanginya, aku terlalu mencintainya.
“Hyung.. A-aku.. maaf, a-aku ingin
bilang.. a-aku mencintaimu, Hyung.” Tanpa menatapnya. Kukatakan itu
sejujur-jujurnya, padanya. Pada Baekhyun-hyung.
Semua terdengar menyakitkan saat hanya satu kata keluar dari bibirnya. “Mwo?”
“An EXO Fanfiction”
By : Lin Hu Na
Rate : T
Genre :
Romance/Hurt/Comfort
Main
cast : Oh Se Hoon and Byun Baek Hyun
Other
cast : Xi Lu Han, Kim Jong In, and Park Chan Yeol
Disclaimer : Semua
tokoh yang ada dalam fanfiksi ini adalah milik Tuhan dan orang tua mereka. Shikashi.. fanfiksi ini jelas milik Lin
Hu Na seorang.
Warning
:
YAOI, AU, OOC, OneShoot, Typo.
Length
:
OneShoot-5047 words.
Don’t Like, Don’t Read!
O.o.O
“Luhan-hyuuuung.....”
Aku berlari menghampiri pemuda berambut kepirangan yang
berjalan tak jauh di depanku. Sudah sore, semua mahasiswa pasti banyak yang
sudah pulang. Untunglah, aku masih bisa menemukan Luhan-hyung disini.
Dan.. syukurlah ia mendengar panggilanku. Saat ia menoleh
dan mendapatiku berjalan menghampirinya, ia balik berseru. “Sehun’ah? Wa-”
Tanpa menunggu ia selesai berucap, kujatuhi ia dengan
pelukku. Kusandarkan kepalaku di atas bahunya. Walau agak sedikit sulit untuk menunduk
saat menyandarkan kelapaku. Kupejamkan mataku, dan menangis.
“K-kenapa, Sehun’ah?
Apa yang terjadi?”
Aku masih tetap menangis tanpa sempat menjawab pertanyaan
Luhan-hyung. Aku masih ingin
menumpahkan semua air mataku, semua kesedihanku, semua penyesalanku. Semuanya.
Semua yang terlalu membebaniku. Semua yang membuatku merasa menyesal.
“Hei, apa yang kalian lakukan? Berpelukan di tengah jalan
begini?”
Aku membelalakkan mata. S-suara ini?
“J-Jongin’ah?”
Aku langsung melepas pelukanku pada Luhan-hyung dan berbalik menatap Jongin-hyung yang menatap kami datar. Bodoh! Aku
bodoh! Apa yang telah kulakukan? Memeluk kekasih orang di tempat terbuka
seperti ini. Sekarang, sekarang, sekarang Jongin-hyung pasti akan berpikiran yang tidak-tidak mengenaiku dan Luhan-hyung.
“Hyung.. j-jangan
salah paham dulu.”
Jongin-hyung
mengangguk. “Tak apa, kau sedang ada masalah dengan Baek-hyung, kan? Aku mengerti, kok?”
Mendengar nama yang disebutkan Jongin-hyung, aku langsung menunduk. Perasaan menyesal kembali menyeruak
ke dalam dadaku. Sakit. Memoriku membawaku kembali ke saat beberapa jam yang
lalu. Saat.. saat.. dengan jujurnya aku mengungkapkan perasaanku padanya. Pada
Byun Baekhyun. Namja yang begitu
kusayangi.
“Mwo? Apa yang
terjadi?”
Bukannya menjawab pertanyaan Luhan-hyung, aku malah menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Menangis
dan terisak.
“H-hei, Sehun’ah..
kenapa kau menangis? Kenapa dengan Baekhyun? Apa dia melukaimu?”
Kurasakan seseorang meraih sisi leherku dan memelukku. Dari
postur tubuhnya yang bersentuhan denganku, aku tahu bahu siapa yang menjadi
tempat sandaranku. Jongin-hyung. Aku
menangis lagi. Menyakitkan. Yang kualami tadi siang.. seperti penolakan cinta.
Aku memang bodoh.
“Hei, Baekhyun’ah..
kau apakan adikku?”
Aku membuka mata saat Luhan-hyung sedang berbicara lewat ponselnya. Dengan Baekhyun-hyung. Tak usah kaget mendengar Luhan-hyung mengatakan ‘adikku’. Aku dan dia sudah
berteman bahkan sejak aku belum sekolah dasar. Dan aku selalu menganggapnya
sebagai kakakku sendiri. Karena itu aku tak canggung lagi untuk memeluknya
–sampai lupa kalau sekarang Luhan’hyung
sudah punya kekasih.
Luhan-hyung menekan
satu tombol di ponselnya hingga suara seseorang di seberang sambungan terdengar
olehku dan juga Jongin-hyung.
“Apa? Aku tak
melakukan apa-apa.” Ujar suara itu datar.
Baekhyun-hyung
pasti marah padaku.
“Hei! Apa maksudmu bilang begitu? Dia me-”
“Hyung.. untuk
sementara ini, tolong jangan ganggu aku dulu.”
Dan kudengar suara
‘Tut..tut..tut..’ yang menandakan bahwa sambungan telah diputuskan. Mataku
kembali berkaca-kaca. Sampai sebesar itukah rasa kecewa –itu yang kusimpulkan
dari ekspresinya tadi siang- nya padaku? Apakah Baekhyun-hyung benar-benar marah padaku?
“Sehun’ah..
sebenarnya apa yang terjadi?”
#FlashBack
“Hyuuung.....”
Segera kulambaikan
tanganku saat pemuda imut berambut coklat gelap itu menoleh padaku. Akhirnya
panggilanku didengar juga olehnya.
“Oh?... Sehun’ah? Lama tidak bertemu..”
Kupelankan laju kakiku
saat dirinya tinggal beberapa meter di depanku. “Apa maksudmu? Bukankah setiap
hari kita bertemu?” Dasar Hyung aneh.
Aku heran kenapa dia selalu bilang ‘Lama tidak bertemu’ saat berpapasan
denganku.
“Benarkah? Menurutku
bertemu denganmu kemarin itu sudah lama sekali.”
Aku tersenyum saat
melihatnya menjulurkan lidahnya padaku.
Gah! Hyung, kau semakin terlihat imut. Aku.. aku.. aku
semakin mencintaimu, Hyung.
“Hei, kau sakit?
Wajahmu merah begitu..”
Aku gelagapan. Aku
langsung mengalihkan pandanganku dari wajahnya. K-kalau terus menatapnya, wajahku
pasti akan semakin memerah. Sial!
“Tidak, tuh. Suhumu
normal.”
Kututup mulutku segera
saat tiba-tiba Baekhyun-hyung
menyentuh pipiku dengan telapak tangannya. Hyung, kalau orang sakit biasanya yang disentuh itu dahinya. Bukan pipinya.
Kau membuatku semakin memerah Hyung.
Aku bisa gila kalau kau tidak segera menyingkirkan tanganmu dari wajahku.
“T-tidak kok, aku
tidak apa-apa.” Kusingkirkan pelan tangannya dari wajahku dan memaksakan
senyum. “A-aku hanya sedikit kepanasan.”
“Serius? Kalau
begitu.. mau minum apa? Kutraktir deh..”
Aku tersenyum lebar.
“Terserah, deh.”
Ia menatapku sebelum
berbalik. “Ayo.”
Aku pun mengikuti
langkahnya. Ah, inilah saat-saat paling menyenangkan. Saat-saat hanya berdua
dengan Baekhyun-hyung. “Saranghae.. hyung..”
“Apa?”
Aku gelagapan –lagi.
“A-ah.. tidak kok. Aku tidak bilang apa-apa.”
Bodohnya aku! Apa yang
tadi kukatakan? Apa jadinya kalau ia sampai mendengar ucapanku tadi dengan
jelas? Memang sih, aku sangat mencintainya. Dan aku sangat ingin bersamanya.
Tapi.. aku ingin kata ‘cinta’ itu diucapkan lebih dulu oleh Baekhyun-hyung sendiri.
Aku memang tidak tahu perasaan
Baekhyun-hyung yang sebenarnya
padaku, tapi.. bolehkan aku berharap bahwa Baekhyun-hyung juga mencintaiku?
“Kenapa kau ini? Aneh
sekali?”
“T-tidak.. aku hanya
ingat sesuatu yang lucu.” Ucapku berbohong.
“Apa itu? Aku?”
A-apa?
“Yah, Sehun’ah.. aku tahu aku memang sangat lucu dan imut.
Tapi.. bisakah kau berhenti tersenyum begitu? Kau akan dianggap orang gila jika
senyum-senyum sendiri?”
Astaga! Mulai lagi sikap
narsisnya. Yah walau, aku MENGAKUI semua yang dikatakannya itu benar, tapi..
kalau ia sendiri yang mengatakan akan terasa seperti candaan saja.
“Ah, es krim? Kau
mau?”
Aku melihat ke arah
depan. “Sudah kubilang terserah kau, hyung.”
“Yah, aku tunggu di
bangku sana itu saja. Biar aku yang belikan untukmu.”
Aku mengangguk dan
menuju bangku yang di tunjuk oleh Baekhyun-hyung. Aah, seperti kencan saja. Duduk di taman.
Aku hanya duduk santai
di bangku itu. Menunggu Baekhyun-hyung
untuk kembali bersamaku. Ah, dia lama sekali.
Sampai akhirnya ia kembali
dengan sebuah eskrim di masing-masing genggamannya. Pasti salah satunya rasa
strawberry. Aku sih, tidak terlalu peduli rasa apa yang dibelikannya untukku. Rasa
apapun bagiku sama saja kalau Baekhyun-hyung yang membelikan. Err.. sebenarnya sih, yang penting ada unsur coklat
di dalamnya.
“Choco-Vanila. Suka
kan?”
Aku mengangguk saja
saat ia menyerahkan eskrim itu padaku. Lantas ia langsung duduk di sampingku.
“Kau tahu, kakakmu itu
sekarang sudah punya kekasih lho.”
Aku langsung menoleh.
Luhan-hyung punya pacar? “Siapa?” Aku
memang pernah dengar Luhan-hyung
dekat dengan seseorang. Belakangan ini dia juga jarang pulang bersamaku.
“JongIn.”
Eh? J-Jongin? Kim
JongIn? “JongIn-sunbae? Yang cool itu?”
Melihat anggukan Baekhyun-hyung aku hanya bisa melongo. Gila! Hebat juga
Luhan-hyung bisa berpacaran dengan
seniorku yang sikap dinginnya bahkan melebihi kutub selatan. Wew...
“Yaa.. kalau kau diamkan saja, cairlah nanti
eskrim itu.”
Aku menatap eskrim di
tanganku. Lalu, mulai membuka plastik pembungkusnya. “Kapan ya? Aku punya
kekasih?” ucapku seraya melirik Baekhyun-hyung.
“Hahaha... belajarlah
dulu. Baru mencari kekasih.”
Selalu saja begini. Apa
ini? Apa dia tidak punya perasaan lain terhadapku?
“Hyung.” Panggilku. “Kalau
aku sudah punya pacar, bagaimana?”
Diam. Ia hanya diam. Ekspresi
wajahnya tidak menentu. “Entahlah, jika kau sudah punya pacar.. eng.. aku tak
akan dekat-dekat denganmu. Nanti kekasihmu marah.” Ujarnya.
Kesal. Apa maksudnya? “HYUNG..!!” seruku tanpa sadar. Aku kesal. Aku lelah, ia
selalu bersikap manis padaku. Tapi, setiap aku menyinggung masalah ini.. ia
selalu saja tak merespon seperti yang kubayangkan. Ini seperti.. seperti..
pemberian harapan palsu.
“Sehun’ah? K-kau marah?”
Aku pun sadar apa yang
baru saja terjadi padaku. “M-maaf, hyung..
aku tidak bermaksud membentakmu.. ma’af.” Aku menunduk. Eskrim di tanganku
mulai meneteskan satu-dua cairan.
Baekhyun-hyung malah tersenyum. Senyum hangatnya.. yang
selalu kurindukan. “Hyung..”
panggilku lagi.
“Ya?”
Aku
gelagapan. B-bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tak tahu
alasanku memanggilnya. A-apa.. sekarang waktunya.. “Hyung.. A-aku.. ma’af.” Aku mengalihkan
pandanganku darinya. “A-aku ingin bilang..”
“Bilang apa?”
Aku menarik nafas panjang dan meghembuskannya. “A-aku mencintaimu,
Hyung.”
Kata-kata itu pun keluar. Aku masih belum berani untuk menatap Baekhyun-hyung. Aku tetap menatap ke arah lain.
Tetap membiarkan eskrim di tanganku mencair. Hingga satu kata dari bibir
Baekhyun-hyung pun keluar.
“M-mwo?”
#FlashBack #END
“Karena itu?”
Aku mengangguk. Aku memang benar-benar bodoh hari ini. Apa
yang telah kulakukan? Mengatakan hal seperti itu secara tiba-tiba. Baek-hyung pasti hanya menganggapku sebagai
adiknya. Sama seperti anggapan Luhan-hyung
padaku. Tapi.. entah kenapa, saat melihat senyumnya.. kata-kata yang sudah
kupendam itu malah keluar.
“Ng? Bukankah itu Baekhyun’ah?”
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Jongin-hyung. Benar. Pemuda berambut coklat
gelap itu adalah Baekhyun-hyung.
“Baekhyun’ah..!!”
“Ah?! Jangan! Luhan-hyung!”
Tanpa mengindahkan ucapanku, Luhan-hyung langsung berlari menghampiri Baekhyun-hyung.
Rasa takut menghampiriku. Takut. Aku takut Baekhyun-hyung akan membenciku. Takut kalau-kalau
aku tak bisa bersamanya lagi.
Dan yang bisa kulakukan sekarang adalah menatap Luhan-hyung dan Baekhyun-hyung dari tempatku berdiri. Jarak kami yang lumayan lebar
membuatku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Sesekali Luhan-hyung
terlihat geram saat kata-katanya hanya dijawab anggukan atau gelengan oleh
Baekhyun-hyung. Bukan. Itu bukan
seperti Baekhyun-hyung yang kukenal. Baekhyun-hyung dan Luhan-hyung punya tingkat ‘kehebohan bicara’ yang sama. Dan apa yang
sekarang kulihat.. sama sekali tidak mencirikan orang yang sangat kucintai itu.
Deg!
Sesaat jantungku serasa berhenti berdetak. Saat tatapan
datar dan terkesan dingin dari Baekhyun-hyung
mengarah padaku. Aku hanya bisa menunduk walau tak mengalihkan pandanganku. Mengerikan.
Ini adalah kali pertama bagiku melihat tatapan Baekhyun-hyung yang begitu tajam dan dingin. Tatapan matanya bahkan lebih
tajam dari Tao –teman seangkatanku.
Sampai akhirnya, seorang namja
menghampiri Baekhyun-hyung dan Luhan-hyung. I-itu.. aku tahu orang itu. Salah
satu sunbaeku. Teman seangkatan
Baekhyun-hyung, Luhan-hyung, dan Jongin-hyung. Pemuda dengan wajah ceria yang kini tengah berbincang dengan
Baekhyun-hyung dan sesekali bicara
pada Luhan-hyung itu bernama Park
Chanyeol.
Kugigit bibirku kuat-kuat saat akhirnya Baekhyun-hyung menundukkan kepalanya sekilas
diikuit Canyeol-sunbae dan berlalu
dari hadapan Luhan-hyung.
Aku masih bersandar pada Jongin-hyung yang sudah kuanggap sebagai kakakku –sejak ia jadian dengan
Luhan hyung. Aku kembali menitikkan
air mata. Mengingat tatapan mata Baekhyun-hyung
yang begitu dingin tadi membuat dadaku sesak. Sakit. Tak pernah kubayangkan kalau
perasaan cintaku akan merusak semuanya. Merusak hubunganku dengan Baekhyun-hyung, merusak tatapan mata Baekhyun-hyung terhadapku, merubah sikap
Baekhyun-hyung. Semuanya. Semuanya..
“Kenapa dia malah bersama Chanyeol?” tanya Jongin-hyung.
Aku sedikit tahu kalau Baekhyun-hyung memang dekat dengan Chanyeol-sunbae. Dulu, menurutku itu wajar-wajar saja. Tapi sekarang.. ada
satu perasaan yang membuatku tak ingin melihat kedekatan mereka berdua. Apa
ini? Apakah ini yang disebut dengan istilah cemburu itu?
“Baboya! Bisa-bisanya
dia pergi saat Sehun menangis seperti ini.”
Mendengar cibiran Luhan-hyung,
langsung kuhapus air mataku. Lantas aku beranjak dari Jongin-hyung. Walau masih agak sesenggukan, kupaksakan
bibirku yang gemetar untuk tersenyum.
“Sudahlah, hyung..”
Walau sakit, walau sesak.. tetap kupertahankan senyum palsu
ini. Demi mereka berdua, orang yang telah bersedia menerimaku.. dan air mataku.
“Sehun’ah.. kau
yang sabar ya. Aku tahu ini pasti sulit, tapi.. cobalah lupakan Baekhyun.”
Aku diam mematung. Serta merta sesenggukanku hilang. Memikirkan
kalimat Luhan-hyung. ‘Melupakan Baekhyun-hyung?’
“HYUNG...!!”
Kulihat Jongin-hyung
menatap tajam pada Luhan-hyung. Babo! Babo! Luhan-hyung Babo! Apa yang barusan dikatakannya? Mana mungkin aku bisa
melupakan Baek-hyung.
T-tapi.. bukankah.. Baekhyun-hyung sudah menolakku? Apa aku harus tetap pada perasaanku.
Menunggunya untuk membalas perasaanku –cintaku. Tapi apakah.. perasaannya bisa
berubah? Atau..
“Ne, hyung. A-aku akan memikirkan saranmu.”
Kedua namja itu
menatapku. Penuh keprihatinan dan rasa kasihan.
Cih! Sungguh menyedihkan dirimu ini Oh Sehun.
“S-Sehun’ah?”
“Aku pulang duluan, hyung.”
Aku memutar tubuhku. Lantas mulai berjalan menuju timur. Arah
yang tadi diambil Baekhyun-hyung saat
pergi bersama Chanyeol-sunbae. Arah
yang membuat bayangan tubuhku tercetak jelas di atas aspal.
Kuangkat lenganku untuk menyeka kembali air mataku. Sakit yang
kurasakan belum juga hilang. Nafasku masih tak beraturan karena sesenggukan. Aku
terlalu larut dalam kesedihan dan kesakitan –juga penyesalan-ku sehingga aku
tak menyadari bahwa... dua pasang mata tengah mengawasiku dari balik pohon-pohon
sakura.
O.o.O
“Sehun’ah.. kau
tidak makan?”
Aku menoleh ke arah pintu kamarku. Ibuku berdiri di sana
sambil menatap heran padaku.
Lantas aku menggeleng dan kembali pada aktivitasku. Menatap
langit malam dari balik jendela. Menatap banyangan wajah seorang namja yang sangat kusayangi.
“Yaa.. kau bisa
sakit kalau tidak makan.”
Aku tersenyum kecut. Makan
pun aku tetap sakit.
“Aku sudah makan tadi sore di kampus.”
Eomma.. mianhae.
Aku terpaksa bohong padamu.
“Aigo! Padahal ibu
sudah masak banyak hari ini.”
Sekali lagi.. mianhae.
Walau sudah makan di kampus, aku selalu berusaha untuk menelan masakan ibu
walau sedikit. Itu kulakukan demi menghargai ibuku yang sudah susah payah
memasak untuk kami berdua. Sejak ayah meninggal sepuluh tahun lalu, ibulah yang
menghidupiku.
Untuk kali ini.. mianhae
eomma.. aku sedang tidak ingin makan apa-apa. Perutku masih terasa kenyang
karena makanan terakhir tadi siang. Ya, tadi siang.. makanan yang kutelan di
depan Baekhyun-hyung. Eskrim.
“Ah, ya sudahlah.”
Tok..tok..tok..
“Sehun’aaaaaah.......!!!!”
Ketukan pintu disertai seruan-seruan yang memanggil namaku
pun menggema di penjuru ruangan. Oh.. suara itu, Luhan-hyung.
“Ah? Hyung-mu
datang.”
Ibu berjalan menjauh dari kamarku dan menuju pintu depan. Dan
tak lama kemudian, suara pintu yang terbuka diikuti basa-basi kecil antara ibu
dan Luhan-hyung pun terdengar. Aku
tetap duduk di atas tempat tidurku. Menatap langit malam yang agak berawan itu.
“Yaa!! Sehun’ah.. kau bilang ada tugas yang ingin kau
tanyakan?”
Aku menoleh. Dan mendapati Luhan-hyung berdiri di ambang pintu dengan ransel hitam di punggungnya. Dibelakangnya,
ternyata ada Jongin-hyung.
“A-apa maksudmu, Hyung?”
Aku kembali diam saat Luhan-hyung mengedipkan sebelah matanya. Apa-apaan ini?
“Aigo! Aigo!
Pantas saja dari tadi Sehun’ah diam
saja. Baiklah.. aku tinggal ya?”
“Baik, ahjumma.
Terima kasih.”
Ibu tersenyum sebelum meninggalkan kamarku.
“Ah?”
Tiba-tiba Luhan-hyung
berlari keluar kamar dan menuju dapur. Apa sih yang sebenarnya ingin dia
lakukan?
Kucoba untuk tak mempedulikan tingkah aneh namja itu. Aku kembali menatap keluar
jendela.
“Hei, hyung..”
panggilku tanpa menatap Jongin-hyung.
“Hm?”
“Menurutmu.. apa
keputusanku untuk mencintai Baekhyun-hyung
itu salah?”
Tak ada jawaban. Yang kudengar hanya langkah kakinya yang
semakin mendekat padaku. Dan tiba-tiba pintu kamarku terbuka lagi. Pasti namja itu.
“Sehun’ah.. kau
pasti belum makan, kan?”
Aku melirik Luhan-hyung
dengan ekor mataku. Melihat tangannya yang memegang sebuah nampan. Dengan
tiba buah mangkuk –yang masing-masing isinya nasi, daging panggang, dan kimchi- dan segelas air putih. Ugh! Dia
pasti akan memaksaku untuk menelan makanan itu.
“Aku tidak mau makan, hyung.
Kau saja yang makan.”
Dengan segera Luhan-hyung
duduk di salah satu sisi tempat tidurku. Yaitu, di sebelahku. Tangannya sibuk
dengan sumpit yang dibawanya. Ia mengambil sepotong daging dengan sepasang
sumpit itu dan menyodorkannya ke dekat mulutku.
“Aaaaa.....”
Aku hanya menggeleng.
“Kalau kau tidak mau makan, jangan harap kau kuizinkan
menjadi adikku lagi.”
Mendengar kata-katanya yang terkesan mengancam itu, aku
menoleh cepat padanya. Menatap wajah tanpa ekspresinya. Mengerikan. Cukup!
Cukup satu orang saja yang memberikan tatapan mengerikan itu padaku.
Perlahan aku menatap satu persatu mangkuk yang ada di atas
nampan. Bergantian menatap wajah serius Luhan-hyung, bergantian menatap ekspresi wajah Jongin-hyung yang –sebenarnya- selalu begitu.
Tenang dan cool.
“Ayo.. aaa..”
Aku menatap Luhan-hyung
lagi. Lantas menghela nafas panjang.
“Aku akan makan sendiri.”
Luhan-hyung tersenyum
lebar sebelum akhirnya mendorong nampan itu ke depanku. Ia juga mengembalikan
daging di sumpit –yang dipegangnya- ke tempat semula. Ia pun menoleh pada kekasihnya
yang masih saja berdiri di dekat tempat tidurku.
“Yaa.. Jongin’ah.. kenapa kau hanya berdiri di sana? Kemarilah..
duduklah disebelahku.” Namja itu
menepuk-nepuk tempat tidurku. Meminta Jongin-hyung untuk duduk di sebelahnya.
“Hyung.. kau belum
menjawab pertanyaanku.”
Aku hanya mengaduk-aduk mangkuk daging yang sudah kuambil.
Tak berniat sama sekali untuk memakannya.
“Yaa.. jangan kau
aduk-aduk saja. Kau harus makan.”
Malas kudengarkan peringatan Luhan-hyung. Aku juga tak lekas mendapat jawaban dari Jongin-hyung. Hingga akhirnya aku merasa
kasihan pada si daging panggang sehingga kuambil sepotong dan kudekatkan ke
mulutku.
“Yah, menurutku.. kau hanya, terlalu terburu-buru.”
Mendengar jawaban Jongin-hyung
rasa kasihanku pada daging itu pun sirna. Kukembalikan ia ke mangkuk semula dan
kuletakkan kembali mangkuk itu di atas nampan. Sangking kerasnya kuletakkan mangkuk
itu, gelas air putih yang ada di dekatnya pun hampir saja tumpah.
Aku lekas menatap pada Jongin-hyung. “Lalu, apa yang harus kulakukan?”
“Yaa! Apa yang kau
lakukan? Cepat makan.”
Luhan-hyung
mengangkat mangkuk nasiku. Mengambil sendok –karena sumpitnya masih ada padaku-
dan menyendokkan sedikit nasi dan langsung menyodorkannya padaku. Sebelum
akhirnya membuka bibirku, kutatap kesal namja
bawel itu.
Ia pun tersenyum lebar saat melihatku mengunyah nasi putih
itu. Dengan sumpitku, kuambil sepotong daging dan memasukkannya ke dalam
mulutku. Memangnya aku mau makan nasi putih saja.
“Sehun’ah.. sudah
kubilang kau lupakan saja Baekhyun itu.”
Mendengar ucapan Luhan-hyung
yang SANGAT NGAWUR itu membuatku cepat-cepat menelan makanan di mulutku. Lantas
aku meneguk air minum cepat-cepat.
“Aku tak bisa, Hyung!
Aku tidak bisa! Semakin ingin kulupakan, semakin aku mencintainya!”
Dan air mataku pun mengalir lagi.
Memori otakku memutar kejadian beberapa tahun lalu. Saat
pertama kali aku mengenal Baekhyun-hyung.
Saat Luhan-hyung tak bisa pulang
bersamaku. Saat trauma masa kecilku hampir membuatku tak bisa pulang ke rumah.
#FlashBack
Jantungku berdegup
kencang. Keringat mengucur deras melewati pelipisku.tanganku gemetaran sejak
tadi. Mataku terus menatap pada gapura besar di seberang jalan. Gapura dengan hangul bertuliskan ‘Igugjog-in’.
Ini gara-gara Luhan-hyung yang sedang sibuk dengan tugas sekolahnya. Aku
harus pulang sendirian. Apa Luhan-hyung
lupa, kalau aku trauma pada ‘Proses penyeberangan jalan’?
Yah, jangan kaget. Traumaku
ini juga disebabkan oleh namja yang
sudah kuanggap sebagai kakakku itu. Ia pernah HAMPIR tewas saat menyeberangi
jalan raya. Itu membuatku takut. Sangat takut. Padahal perumahan tepatku
tinggal ada di seberang sana.
“Babo, Hyung. Kalau begini bagaimana aku bisa pulang?”
Sampai tiba-tiba
seseorang menepuk pelan bahuku.
“Apa yang dari tadi
kau lakukan? Kau ingin menyeberang atau tidak?”
Aku menoleh. Namja imut dengan seragam yang sama denganku
tengah menatapku heran. D-dia.. aku pernah melihatnya.. dia salah satu Sunbae-ku.
“Kau takut?”
Aku menunduk. Wajahku
pasti memerah karena malu.
“Haha.. tak apa-apa.
Kau ‘kan baru tiga-belas tahun.”
‘Baru’ katanya? Dia
pikir wajar bagi seorang berusia TIGA BELAS TAHUN takut menyeberang jalan? Yah, tapi.. mau bagaimana lagi? Setiap aku
ingin menyeberang jalan, sosok Luhan-hyung yang penuh darah itu selalu menghampiri fikiranku.
“Ayo..”
Ia mengulurkan telapak
tangannya yang terbuka padaku. Aku menatapnya bergantian menatap wajahnya. Ragu
kuangkat lenganku dan menyambut uluran tangannya. Saat tiba-tiba ia menggenggam
tanganku, sebuah kehangatan –yang tak pernah kurasakan saat bersama Luhan hyung- menjalar ke seluruh bagian tubuhku, termasuk
wajahku.
Aku pun mengikuti
langkahnya yang mulai menyeberangi jalan lebar ini. Degub jantungku tak karuan.
Jika dengan Luhan-hyung degub jantung
ini disebut rasa takut. Namun, yang kurasakan kali ini bukan itu. Tak ada
bahkan satupun rasa takut tersimpan di hatiku. Yang kurasakan hanyalah.. apa
ini? Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Perasaanku sangat
lega.
“Kau tinggal dimana?”
Aku gelagapan. “A-aku,
di Jog-in B.” Aku bahkan baru sadar kalau kami sudah berada di depan gapura
besar itu.
“Waah... lumayan jauh
juga, ya? Aku di Jog-in D.”
J-Jeog in D? S-sunbaeku ini tinggal di Jog-in D? I-itu kan.. daerah
paling elite di Igugjog-in. Aku
sangat bersyukur bisa tinggal di Jog-in B. Tinggal di Jog-in D.. bagaimana
rasnaya? Beberapa teman sekelasku yang tinggal di Jog-in D pasti diantar-jemput
menggunakan mobil-mobil mewah. Lalu..
“Sunbae.. tidak dijemput?”
Kami pun melangkah lagi
memasuki kompleks perumahan. Di kanan-kiri kami pertokoan dan beberapa rumah
berjejer rapi dan bersih.
“Tidak. Aku lebih suka
naik sepeda ke sekolah. Tapi, saat aku mampir ke toko roti sepedaku hilang.
Haha.. jadi, aku harus jalan kaki untuk sampai di rumah.”
A-apa?
“Hilang? L-lalu.. sunbae tenang-tenang saja?”
Gila! Untuk memiliki
sebuah sepeda, aku harus lulus ujian nasional sekolah dasar dengan nilai
sempurna. Dan jika akhirnya sepeda itu hilang, aku akan menangisinya tujuh hari
tujuh malam. Walau sebenarnya, aku tidak berani membawa sepeda ke sekolah.
Lalu, namja imut di sampingku ini.. dengan santainya ia
bilang bahwa sepedanya hilang sambil tertawa. Astaga!
“Yah, mau bagaimana
lagi? Orang yang mengambilnya pasti punya alasan tertentu. Mungkin, ia orang
yang tidak mampu dan membutuhkan uang untuk berobat, misalnya.”
Aku diam. Terpana. Apa
benar ada orang seperti ini?
“Ah, baiklah. Blok B
ke sana, kan?”
Sampai juga kami di
perempatan yang memisahkan Blok A sampai Blok D. Sunbaeku ini menunjuk arah barat dengan telunjuknya.
“Iya.”
Ia tersenyum. Senyum
yang dapat membuat wajahku memerah. Senyumnya... maniiiiiiiiiiisss sekali. Dia
terlihat sangat imut karena senyum itu membuat matanya tinggal segaris saja.
“Sampai jumpa kalau
begitu.” Ia pun mulai berjalan lurus ke depan.
Aku pun mengangguk
sebelum teringat akan sesuatu. “Ah.. S-sunbae..!!”
Mendengar panggilanku, ia menoleh. “Ada apa?”
Aku membungkukkan
tubuhku sesaat. “Terima kasih.” Kusibakkan poniku yang sempat menutupi
pandangan mataku saat aku kembali berdiri tegak.
“Yah, sama-sama. Oya..
namamu Sehun ‘kan, dari kelas 1A?”
D-dari mana ia tahu
namaku. “I-iya,”
“Jangan panggil aku Sunbae.. kau tahu, itu sangat terdengar kaku.”
Lalu. Dia mau
kupanggil seperti apa?
“Bagaimana kalau kau
panggil aku sama seperti saat kau memanggil Luhan?”
L-Luhan? “S-sunbae
kenal dengan Luhan-hyung?”
Ia mengangguk. “Dia
teman sekelasku. Dan bukankankah sudah kubilang jangan panggil aku Sunbae?” Ia lantas membenahi letak ranselnya.
“O-oh, baiklah.. Maaf,
em..”
Memanggilnya seperti
memanggil Luhan-hyung. Jadi aku harus
memanggilnya dengan sebutan ‘Hyung’ juga? Lantas.. siapa namanya? Aku bahkan
tak bisa melihatnya karena name-tagnya
tertutup oleh ranselnya yang baru saja ia benahi –letaknya- itu.
“Baekhyun.” Ujarnya
seakan tahu apa yang kufikirkan.
“B-baiklah.. Baekhyun-hyung.”
#FlashBack #END
“Hyung! Sudah kubilang
hati-hati kalau bicara. Kau ini tidak bisa sedikit memahami perasaan orang lain
apa?” Karena kesal, Jongin-hyung pun
menarik pelan sisi kanan pipi Luhan-hyung.
“Kau pikir mudah melupakan orang yang
kau cintai.”
Setelah Jongin-hyung
melepas cubitannya, Luhan-hyung malah
menatap jahil ke arah kekasihnya itu. “Ne..
jadi bagaiaman denganmu?”
Kulihat sekilas wajah Jongin-hyung bersemu kemerahan. “A-apa maksudmu?”
Apa-apaan sih mereka ini? Bercanda begitu di depanku. AKU IRI TAHU?!
“Sudahlah, Hyung.
Lebih baik kalian pulang saja.”
Aku kembali mengarahkan pandanganku ke langi malam tanpa
bintang itu. Huh! Dadaku masih terasa sesak.
“Yaa!! Kau harus
makan dulu.”
Aku menggeleng. “Aku sudah kenyang.” Dasar. Bukannya
menghiburku, malah memaksaku terus. Menyebalkan.
Yah, menurutku.. kau
hanya, terlalu terburu-buru..
Kata-kata Jongin-hyung
kembali berputar di kepalaku. Ya, memang. Aku menang terlalu terburu-buru.
Seharusnya.. seharusnya aku tidak mengatakan hal itu pada Baekhyun-hyung. Seharusnya tetap kusimpan perasaanku
itu. Perasaan yang sudah membuatku jauh dari Baekhyun-hyung.
“Yaa.. kenapa
masih ada di sini?”
Maaf, hyung. Kali ini saja.. tolong biarkan aku sendiri.
O.o.O
Sudah lebih seminggu aku tak berbicara dengan Baekhyun-hyung. Tiap aku berusaha menyapanya, ia
selalu menghindariku. Tiap aku memanggilnya, ia selalu mengacuhkanku. Saat kami
berpapasan, ia selalu berpura-pura untuk tidak melihatku. Sakit. Sakit sekali.
Apa ini artinya Baekhyun-hyung
benar-benar membenciku. Apa ini artinya.. hubungan kami hancur?
Apalagi.. sekarang Baekhyun-hyung sering sekali berdua dengan Chanyeol-sunbae. Ukh! Menyebalkan!
Aku juga tak bisa setiap kali bersama Luhan-hyung. Kenapa? Memangnya aku tega
menganggunya yang sedang kencan dengan Jongin-hyung.
“Hhh...”
Langkah kakiku terhenti. Aku mendongak, menatap lampu lalu
lintas di atasku. Aku masih menunggunya untuk berubah menjadi warna merah, agar
aku bisa menyeberang jalan dengan aman. Yah, dulu aku memang sangat takut untuk
menyeberang jalan. Sekarang.. aku sudah bisa mengatasi trauma masa kecilku itu.
Berkat Baekhyun-hyung.
Dan mataku pun membulat saat melihat seseorang berdiri di
seberang jalan. Itu.. Baekhyun-hyung.
Dengan tatapan kosongnya. Namja itu
langsung saja menyeberangi jalan tanpa mempedulikan lampu lalu lintas yang
masih hijau.
“Tunggu! Hyung!”
Sial! Dia tidak mendengarku. Apa ini? Apa suaraku kalah
keras dengan suara klakson mobil itu.
TIIIIIIIIINNN.........!!!!!!!!!!
A-apa?
Aku melihat ke arah kanan. Sebuah mobil melaju kencang dari
sana. Mungkin mobil itu tak ingin tertinggal lampu hijau itu. Gawat! Baekhyun-hyung masih melamun saja.
“Hyung! Apa yang
kau lakukan? Cepat lari!”
Argh! Kembalilah dari lamunanmu, Hyung. Kau bisa mati kalau tidak segera kembali.
Maka kuputuskan untuk berlari ke arahnya. Babo! Babo! Hyung.. kau bodoh!
“Hyung..!!”
Kudorong tubuhnya hingga ia kembali ke pinggiran jalan.
Walau ia jatuh.. namun aku bersyukur ia tidak tertabrak mobil yang terus
membunyikan klaksonnya itu. Aku pun tersadar.. aku menoleh ke sisi kananku.
Mobil itu...
“AKH!”
Kurasakan sakit yang luar biasa di tubuh bagian kananku.
Serta merta, tubuhku pun jatuh ke atas aspal. Sakit.
“SEHUN’AH...!!!”
Walau pandanganku telah mengabur, dapat kulihat sosok
Baekhyun-hyung berlari ke arahku.
Padaku yang kini tergeletak di jalan dengan aliran darah yang keluar dari
beberapa bagian tubuhku.
“Baboya! Apa yang
kau lakukan?!”
Kupaksakan wajahku untuk tersenyum. Walau rasa sakit terasa
menusuk-nusuk kepalaku. Walau tubuhku tak bisa bergerak bebas.
“S-syukurlah.. hyung..”
Aku membuka bibirku. Ingin terus mengatakan kelegaanku atas
keselamatannya.
Tidak bisa! Tubuhku sulit
digerakkan. Suaraku hilang di tenggorokan. Pandanganku mulai mengabur seiring
mulai hilangnya suara kerumunan di sekitarku. Dan semuanya pun menjadi gelap.
O.o.O
“Ahjumma, anda
istirahatlah. Biar saya yang menjaga Sehun’ah
di sini.”
Suara lembut Baekhyun-hyung
lah yang pertama kali kudengar saat perlahan aku membuka mataku. Dan suara
pintu tertutup pun terdengar setelahnya. Kurasakan sebuah selang terpasang di
dekat hidungku. Ini.. alat rumah sakit yang sering kulihat di televisi itu.
Aku berusaha membuka bibirku. Aku ingin memanggil namja itu. Namun, hanya hembusan nafas
yang bisa keluar dari mulutku.
“Sehun’ah?”
Ia menatapku, lalu menghampiriku. Tangannya... kenapa ada perban
di tangannya?
“Sehun’ah? Kau
baik-baik saja? Apa yang kau rasakan? Ah! Biar aku panggilkan dokter dulu.”
Kuraih tangannya dengan jemariku. Walau gemetar, aku
berusaha membuatnya tetap berada di sampingku.
“H-hyung.. jangan
pergi.” Ucapku lirih.
Ia menatapku lalu tersenyum. Senyum yang tak pernah kulihat
dalam seminggu ini. “Sebentar saja. Aku panggilkan dokter untuk memeriksa
keadaanmu.” Sungguh, aku sangat merindukaan senyuman itu.
Aku memejamkan mata dan menangis. “Kumohon, hyung.. jangan pergi.” Aku tak mau
melepaskan genggamanku padanya. Malah semakin mengerat. Aku tak ingin ia pergi
dariku.. untuk kedua kalinya.
“Jangan tinggalkan aku, hyung..”
“Sehun’ah?”
“Maafkan aku, hyung..
aku tahu tak seharusnya aku bilang begitu padamu. Aku tahu itu salahku. Kumohon,
hyung.. tetaplah bersamaku. Jangan
pe-”
Aku langsung membuka mataku saat sesuatu yang lembut
menyentuh pipiku. Wajah Baekhyun-hyung
sangat dekat denganku. Aku baru sadar bahwa ternyata Baekhyun-hyung... mengecup lembut pipiku.
Aku masih saja menatapnya saat ia menjauhkan wajahnya
perlahan dariku. Wajahku.. pasti memerah.
“Aniyo.” Ia pun duduk
di atas ranjangku. Membelakangiku. Namun.. ia tetap menggenggam jemariku. “Mianhae.. Sehun’ah. Saat kau mengatakan hal itu.. aku terlalu kaget. Aku belum siap
mencintai dan dicintai.”
A-apa? Apa maksudnya?
“Trauma.”
Aku terbelalak. Baekhyun-hyung..
trauma? Akan apa?
“Aku sangat takut.. kehilangan.”
Kehilangan? Trauma akan kehilangan? Memangnya ada trauma
yang seperti itu?
“Kau tahu, kan? Aku kehilangan ibu dan adikku..”
Benar. Luhan-hyung
pernah bercerita padaku kalau Baekhyun-hyung
sudah tidak memiliki seorang ibu. Dan juga kembali menjadi anak tunggal setelah
adiknya sakit dan meninggal.
“Heh.. sebenarnya.. Aku, sudah menyukaimu sejak pertama kali
aku melihatmu. Tapi, aku selalu brusaha mencegah perasaanku untuk mencintaimu,
sampai akhirnya kau bilang.. kalau kau mencintaiku.”
Aku diam. Aku yakin wajahku masih memerah sekarang.
“Trauma itu mengusikku lagi. Karena itu, aku selalu bertanya
pada Chanyeol mengenai hal ini. Tapi, aku tetap tak bisa menghilangkan
traumaku.”
Kehilangan memang sangat mengerikan. Aku merasakannya
beberapa hari ini.
“Aku selalu melihatmu setiap hari, kadang aku malah
mengikutimu. Bodohnya aku..”
Aku langsung mengalihkan pandangan saat ia menatap padaku. Malu.
Aku tak sanggup menatap wajahnya.. dan senyumnya.
“Sehun’ah.. kau
tahu, tadi Luhan dan Jongin ke sini.”
Aku tetap diam. Karena tak ada satupun kata yang ingin
kuucapkan.
“Mereka memarahiku karena kejadian ini.” Sedikit kulihat ia
tersenyum kecut. “Memang aku patut mendapatkan itu. Aku yang salah.. aku yang
membuatmu harus menderita di sini.” Dapat kurasakan jemarinya menggenggam
tanganku lebih erat.. dan hangat.
“Tak apa, hyung.
Asal kau baik-baik saja.” Ucapku masih tak menatapnya.
Ia tersenyum kecut –lagi. “Mianhae..”
Hening. Untuk beberapa saat Baekhyun-hyung tak mengeluarkan suaranya. Apalagi aku?
“Sehun’ah.. kau
tahu, tadi Jongin bilang padaku...” Aku pun mulai berani menatapnya. “Katanya..
‘Saranghae dulyeowohaji malgo sarang.
Waenyahamyeon, dangsin-ui ma-eum-eun geu du gajileulhaji anhgo bieoiss-eul
geos-ibnida’.”
Lagi-lagi aku hanya diam dan mendengarkannya.
“Aku juga baru sadar.. hidupku lebih berarti.. setelah..”
Setelah..
“Setelah aku memutuskan untuk mengenalmu lebih jauh.”
BLUSH....
Wajahku memerah. Entah untuk ke berapa kalinya wajahku
memerah seperti ini.
“Sehun’ah..” ia menatapku. Dan akhirnya aku balik menatapnya, menatap ke
dalam matanya. Menunggunya kembali bersuara. “Saranghae..”
O.o.O
Menurutku...
Mengatasi rasa trauma itu memang sulit. Saat aku berusaha
berani untuk menyeberang jalan lagi –dengan bantuan Baekhyun hyung- setengah mati aku menahan rasa
takutku. Hingga akhirnya aku bisa benar-benar bebas dari trauma itu.
Lalu..
Baekhyun-hyung. Ia
trauma akan kehilangan. Karena itu.. ia takut untuk mencintai. Karena saat
mencintai... ada sebuah peluang bagi kita untuk kehilangan cinta itu. Yah,
bukan bagaimana. Tapi, Baekhyun-hyung
sendiri yang bilang padaku kalau ia bisa mengatasi trauma itu karena aku.
“Yaa! Baru
kutinggal sebentar kau sudah melamun.”
Aku tersentak. Baekhyun-hyung
sudah berdiri di sampingku sambil membawa dua buah eskrim di tangannya.
“Nih, untukmu.”
Aku tersenyum kecil seraya menerima eskrim dari Baekhyun-hyung. “Hyung..” panggilku padanya yang kini sudah duduk di sampingku.
“Cepat habiskan eskrimmu. Nanti mencair.” Ia menunjuk eskrim
di tanganku sambil mulai menjilati eskrim strawberrynya.
“Iya iya.”
Cih! Bahkan dia tidak mengizinkanku untuk berterima kasih.
Dasar.
“Setelah ini kita akan kemana?”
Aku belum menjawab pertanyaan Baekhyun-hyung karena mulutku masih sibuk pada eskrim choco-strawberryku.
“Hei,”
“Terserah.” Aku meliriknya sekilas. “Yang penting aku tetap
bersamamu.”
“Aaah... strawberry memang yang terbaik.” Baekhyun-hyung melempar stik eskrimnya ke dalam
tong sampah yang tak jauh di depan kami. Apa dia bisa lebih santai sedikit saat
makan? Kukira baru saja ia membuka pembungkus eskrimnya.
“Dasar! Kau ingin terus dekat-dekat denganku, ya?”
“Huh!” Aku langsung menatapnya. “Iya! Supaya kau tidak
bersama Chanyeol-sunbae lagi.” Ujarku
seraya melempar stik eskrimku ke tempat yang sama dengan Baekhyun-hyung.
Baekhyun-hyung
tertawa. “kau cemburu ya?”
Aku menjulurkan lidah padanya. “Tentu saja! Kau kan sudah
memintaku menjadi kekasihmu.”
Enak saja!
“Iya.. iya.. Sehuna’ah
aku tak akan meninggalkanmu lagi. Ma’afkan aku beberapa waktu lalu.”
Aku hanya diam dan memalingkan wajahku darinya. Bukannya
marah. Aku malah sangat senang. Hanya saja.. aku ingin sedikit manja saja
padanya.
“Hei, hei, lihat! Masih ada sisa eskrim di bibirmu.”
Ia meraih dahuku hingga kami bertatapan. Dan tiba-tiba saja,
pandanganku terkunci. Aku tak dapat mengalihkan pandanganku darinya.. dari
matanya. Dadaku terus berdetak dag-dig-dug
saat senyum Baekhyun-hyung mulai
menghiasi wajahnya.
Dengan lembut dan perlahan, diusapnya sisi bibirku dengan
ibu jarinya. Terus saja tangannya bergerak hingga ke sisi belakang kepalaku.
Aku tidak begitu mengerti apa yang dilakukannya, namun.. dari cara ia
menatapku.. itu.. sangatlah.. terlihat.. sexy.
“Sehun’ah..”
Aku tetap diam, bahkan tak menyahut panggilannya. Aku hanya
terus menatapnya dan merasakan bahwa tangannya turun ke leherku. Dan sedetik
kemudian, aku merasa bahwa ia membawaku untuk lebih dekat padanya dengan terus
menekan leherku.
“Sehun’ah..”
Perlahan.. benar-benar perlahan.. aku menutup kedua kelopak
mataku. Dapat kurasakan hembusan nafas Baekhyun-hyung di kulit wajahku. Semakin dekat dan dekat.. hingga akhirnya
kurasakan sesuatu yang lembut menyapu bibirku.
Untuk pertama kalinya.. aku merasakan sesuatu yang lebih
manis dari cokelat. Jujur saja, aku menikmatinya. Ciumanku yang pertama dalam
beberapa saat itu.
Perlahan.. kujauhkan wajahku darinya dan membuka mataku. Menatap
Baekhyun-hyung yang tersenyum padaku.
“Manis.”
BLUSH..
Aku memalingkan wajahku darinya. Lagi-lagi wajahku memerah.
Aku tak mengerti kenapa ini selalu terjadi saat Baekhyun-hyung tersenyum seperti itu padaku. Senyum penuh kejahilannya..
bukan.. itu senyum genit.
“Hei, lihat aku.”
Baekhyun-hyung
kembali meraih daguku.
“Apa kau.. benar-benar mencintaiku?”
Mataku membulat. Apa yang barusan ditanya olehnya. “T-tentu
saja! Apa yang kau pikirkan hingga bertanya hal semacam itu?”
Baekhyun-hyung
tersenyum lagi. Bukan.. bukan senyum jahil –atau genit-nya. Melainkan sebuah
senyum sendu. “Sehun’ah.. kau tak
akan meninggalkanku, kan?”
Aku diam. Menatap ke dalam mataya. Aku mengerti.. traumanya
itu masih sedikit menghantuinya.
“Hyung.. jangan
takut. Aku tak akan meninggalkanmu. Karena aku.. sangat mencintaimu.”
Akhirnya. Senyum manis Baekhyun-hyung kembali lagi. “Terima kasih.”
Aku menghela nafas lega. Akhirnya.. senyum sendu itu
menghilang. Kau tahu.. melihatnya saja sudah membuatku ingin menangis. Sangat
menyakitkan jika kau mengingat bahwa Baekhyun-hyung adalah orang yang sangat ceria.
Yah.. trauma memang sesuatu yang sangat luar biasa. Trauma..
apa setiap orang punya rasa traumatik? Jika dulu aku sangat takut pada ‘proses
penyeberangan jalan’ dan Baekhyun-hyung
takut akan ‘kehilangan’ bagaimana denganmu?
Syukurlah jika kalian tidak memiliki hal itu. Karena itu
sangat mengerikan. Ah.. tapi, jika trauma itu sudah hilang.. itu akan menjadi
suatu kelegeaan yang.... sangat WAH. Bagaimana ya? Aku tak bisa menjelaskannya.
Hm...
“Hei, Sehun’ah..”
Aku menoleh pada Baekhyun-hyung yang kembali tersenyum jahil –genit- padaku. “Kenapa?”
“Aku ingin lagi.”
Aku mengerutkan dahi, tak mengerti apa yang dimaksudnya. “Apanya?”
Baekhyun-hyung
tersenyum semakin lebar.. tiba-tiba ia menunjuk bibirnya dengan telunjuknya.
Ah? A-aku.. mengerti maksudnya.
“T-tapi..”
Katakan padaku! Apa yang
sebaiknya kulakukan?
-END-
O.o.O
Yah, baiklah. Itu
Fict. EXO Gakura/HuNa yang pertama. Ohlala, terserah mau panggil Huna apa Gaku.
Keduanya nama saya, atao sekalian panggil Elga aja deh.
Sebelumnya, isi blog
ini Cuma animangaaaa semua. Dan benda-benda gaje dari otakku. Tapi, sekarang..
Aku membuka hati untuk para-para mereka (?)
YAPZ! Bagaimana? Ceritanya?
Gajekah? Membingungkankah? Banyak typokah? Yah, typo pasti masih ada lah ya..
Yah, pokoknya.. karna ini yang pertama aku juga masih rada nggak pede. Sebenarnya
ini udah selesai sejak 2012/10/20. Tapi yaah.. baru berani posting sekarang. Ini
juga karena dipaksa-paksa #yangngerasayangngerasa?
OKE! POKOKNYA, Don’t
be a silent reader deh ya..
Aku butuh banget
masukan-masukan dari pembaca sekalian. Sankyu :*
Note :
* “Saranghae
dulyeowohaji malgo sarang. Waenyahamyeon, dangsin-ui ma-eum-eun geu du
gajileulhaji anhgo bieoiss-eul geos-ibnida” : Jangan takut untuk
mencinta dan dicinta. Karena hatimu akan hampa tanpa kedua hal itu.
*”Oesang” : trauma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar