“Adikku”
o.O.o
Kelopak matanya tergerak saat Ia
merasa seseorang menyentuh puncak kepalanya. Membelai lembut helaian ikal
panjangnya dan juga wajahnya. Wangi aroma bunga mawar yang menenangkan itu juga
telah sejak lama memenuhi rongga hidungnya. Saat kedua bola mata itu benar-benar
telah terbangun, cahaya terang berebut masuk ke dalam penglihatannya.
Namun, cahaya terang itu tak dipedulikannya.
Ia masih penasaran akan helaian pirang panjang yang berjuntai di atasnya. Juga,
asal dari wangi mawar ini. Hingga pada akhirnya, wajah cantik wanita yang tersenyum
padanya itu membuatnya benar-benar terbangun dari tidur nyenyaknya.
Secepat angin yang berhembus di
lautan, gadis itu bangun dari posisi tidurnya dan langsung menatap wanita pirang
di hadapannya penuh selidik. “Siapa kau?”. Gadis itu baru menyadari bahwa
sedari tadi Ia tertidur di pangkuan wanita pirang itu. Dan, ternyata wanita
itulah asal wangi mawar yang membuatnya nyaman.
“Ah, akhirnya kau bangun juga..
Grace.”
Gadis itu membelalak. “Namaku.. bagaimana
kau bisa tahu namaku?” gadis bernama Grace itu menatap penuh tanya. “Siapa..
kau ini?”
“Namaku, Claraine. Meriadhe
Claraine.”
Grace terdiam. Lebih tepatnya
terpaku. Mendengar nama yang baru saja disebutkan wanita itu. Nama itu,
Meriadhe Claraine. “M-Meriadhe?”
“Kakek,
siapa orang ini?” Grace kecil menunjuk seorang wanita di dalam bingkai foto
yang terletak di meja kakeknya.
“Oh,
jadi kau peasaran?” tanya pria yang tersenyum padanya. “Namanya Claraine.
Meriadhe Claraine.”
“Meriadhe?”
Grace mengangkat alis, bingung. “Namaku juga Meriadhe. Siapa dia sebenarnya?”
“Dia
itu....” pria tua itu menggantungkan kalimatnya. “Ibumu.”
“Ibu?”
Meriadhe.... Claraine.
Itu sudah lama sekali. Namun, Grace
masih ingat betul nama yang pernah disebutkan oleh kakeknyanya sebagai nama
ibunya. Meriadhe Claraine.
“Jadi...” Grace menggantungkan
kalimatnya. “Kau...” Air mata itu mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Nah, Grace. Aku memang....”
Wanita bernama Claraine itu tak
bisa melanjutkan kalimatnya saat tiba-tiba Grace memeluknya erat –sambil
menangis.
“Aku... selalu, ingin bertemu ibu..
Hiks.”
Claraine membalas pelukan putrinya.
“Kau sudah besar sekali, ya. Ibu rindu sekali padamu.”
Di tengah tangisnya, Grace
tiba-tiba tersadar. “Ibu.” Panggilnya. Ia mulai melepas pelukannya.
“Ya?”
Tidak.
Ini pasti mimpi. Dia bukan ibuku. Tak mungkin ibuku ada di sini. Ibuku...
Ibuku... Ibuku sudah meninggal..!!
“Ah, aku memang sudah meninggal.”
Grace membelalakkan matanya. Dia.. bisa membaca fikiranku. “Aku...
pasti mimpi.”
“Grace. Apa kau belum menyadari,
dimana kau sekarang?”
Grace terdiam, lalu memandang
sekitarnya. Putih. Hanya ada warna putih. Ini bukanlah kamarnya yang selalu berantakan.
Bukan juga ruang makan tempat Ia biasa tertidur. Bukan juga halaman belakang
rumah tempat Ia biasa duduk termenung. Lantas.
Aku di mana?
“Kita, ada di..... langit.”
Lagi-lagi, Grace diam. Tak
berekspresi. Mendengar pernyataan dari ibunya, gadis itu hanya diam tanpa dapat
mengatakan apapun. Hingga akhirnya, fikirannya mulai kembali bekerja.
“Langit?”
Ia memutar tubuhnya. Sekali lagi,
mengamati keadaan sekelilingnya. Namun, sejauh matanya dapat melihat, hanya
warna putih yang ada dalam penglihatannya.
“Ya, kita berdua ada di langit.”
Grace masih terdiam. Ia berusaha
mengingat apa yang terjadi padanya sebelum ia bangun. Bukankah, tadi ia sedang
bersama adiknya? Bukankah tadi ia sedang berjalan untuk pulang? Tunggu! Grace membulatkan matanya.
Perlahan Ia menatap kembali ibnya.
“I-Ibu..” panggilnya terbata. “Apa
aku... sudah... mati?”
Claraine tersenyum. “Jadi, apa yang
membuatmu bisa berada di langit ini?”
o.O.o
Langit kota Abalone terlihat cerah
tanpa awan. Angin berhembus pelan memainkan dedaunan pohon sakura yang tak
terlihat bunganya –atau bisa disebut telah kehilangan bunganya. Musim semi
telah berakhir. Bunga matahari nampak
menghiasi setiap sisi kota. Musim panas ini benar-benar indah.
Abalone bukanlah kota yang besar.
Namun, tidak bisa disebut kota kecil juga. Kota Abalone berada di kawasan
kerajaan Vowel di pulau Pasteurize. Kota yang menjadi pusat kerajaan Vowel
berada di balik pegunungan Arubei yang terletak di samping kota Abalone. Namun,
kehidupan kota ini sangat cukup untuk disebut sebagai kota yang makmur.
Di pusat kota. Tepatnya di sebuah
rumah sakit yang cukup terkenal di kota ini, dua orang gadis tengah duduk di depan
ruang UGD. Seorang gadis pirang bernama Ronna, dan gadis bermata tajam bernama
Zea. Baik Ronna maupun Zea, pakaian kedua gadis ini dipenuhi bercak-bercak
darah.
“Bagaimana Alvy?”
Ronna menoleh pada sahabatnya. “Dia
shock. Sekarang pingsan.”
Zea menghela nafas berat. Disibakkannya
poni yang menutupi sedikit penglihatannya. “Bagaimanapun juga, aku tidak
menyangka Grace melakukan itu.”
“Tidak heran. Grace sangat
menyayangi Alvy, kan?” Ronna menyilangkan kedua lengannya di depan dada. “Persaudaraan
yang benar-benar keren.”
“Ngomong-ngomong, kau sudah hubungi
kakek Dapper dan Barley, kan?”
Ronna menarik ponselnya dari saku
jaketnya. Ah, jaket itu benar-benar penuh dengan darah. “Aku sudah hubungi
Barley. Mungkin sekarang sudah ada di perjalanan. Tapi, kakek Dapper tidak bisa
dihubungi.”
Zea menghela nafas berat. “Jujur
saja, aku agak ragu Grace bisa bertahan.” Ia sekilas melihat telapak tangannya,
masih ada jejak darah di sana. “Dia bah-”
“Kesannya kau malah menginginkan
dia untuk tidak bertahan.” Ronna menatap tajam gadis yang duduk di sebelahnya.
“Hei, hei. Aku hanya ragu. Memangnya
kau tidak lihat luka di kepalanya?” Zea berusaha membela dirinya. “Dia bahkan
terpental jauh, kan?”
Ronna diam. Mau tak mau, Ia
meng-iyakan juga kata-kata sahabatnya. “Tapi, kalau itu terjadi, Alvy.... dia
pasti.....” Ronna tidak melanjutkan kata-katanya, Ia hanya bisa menunduk.
“Melihat adiknya hampir celaka
seperti itu, Grace pasti tidak akan diam, kan? Itu sebabnya dia berlari dan
menyelamatkan Alvy. Walau akhirnya malah dia yang tertabrak bus sialan itu.”
“Eh, kudengar supirnya mabuk, kan?”
“Bukannya kau melihatnya ju-”
Kata-kata Zea tak dapat dilanjutkan
karena tiba-tiba seseorang memanggil nama mereka berdua.
“Nona Zea, Nona Ronna!”
Keduanya menoleh. Menatap sosok wanita
berambut coklat yang tengah berlari kecil menuju ke arah mereka. Wanita itu
adalah pengasuh kedua sahabat Ronna dan Zea yang kini tengah berada di ruangan
UGD. Dan, wanita itu juga yang selalu memanggil keempatnya dengan sebutan
‘Nona’ sejak mereka berkunjung dulu –dulu sekali.
“Barley?”
“Bagaimana keadaan Nona Grace? Lalu,
dimana Nona Alvy?” tanya wanita itu cepat-cepat.
“G-Grace... dokter belum keluar
sejak tadi.” Jawab Ronna agak terbata. “Kalau Alvy, dia shock. Sekarang dia pingsan.”
“Ya Tuhan, selamatkanlah Nona
Grace.” Wanita it menangkupkan kedua tangannya di depan dada, memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar mengabulkan permintaanya.
o.O.o
“Tunggu!
Alvy...!!!!!!!!”
BRUAAAKKK....!!!!!
Grace menghela nafas untuk kesekian
kali. “Jadi, akhirnya keinginanku
terkabulkan juga.”
Kematian. Hal yang –dulu- sangat
diinginkannya. Bukan karena gadis ini tidak bisa bersyukur diberi kehidupan, Ia
hanya tidak tahu... tujuan hidupnya. Orang tua, sesuatu yang sangat dibutuhkan
seorang anak saat kesulitan. Orang yang menghiburnya ketika ia kesepian. Orang
yang akan memberikan kasih sayang, Ia tak pernah mendapatkan itu. Ayahnya, meninggal
bahkan saat Ia belum dilahirkan. Ibunya –yang kini berdiri tak jauh darinya- meninggal
setelah melahirkannya.
Sejak kecil, Ia dirawat oleh
Barley. Barley, yang mungkin wanita itu bisa Ia anggap sebagai ibu-angkatnya. Karena
wanita itu menyayanginya. Wanita itu baik padanya. Dan, kakek Dapper. Kakek tua
berwajah sangar itu sebenarnya tidak pantas disebut kakek. Grace selalu saja
mendapat hadiah cubitan saat orang tua itu datang mengunjunginya di rumah
Barley. Yah, sebenarnya kakek tua itulah yang menitipkan Grace pada Barley. Kesibukannya
sebagai Vice-Admiral angkatan laut
itu memang sangat tidak memungkinkan Ia untuk merawat Grace.
Lalu, Alvy. Gazeouse Alvy. Gadis
itu dititipkan –oleh kakek tua Dapper- pada Barley setelah kurang lebih Grace
berusia sepuluh tahun. Sama seperti Grace, gadis cilik itu juga tidak mendapat
kasih sayang dari orang tuanya. Kedua orang tuanya tidak tinggal di pulau yang
sama. Melainkan, di sebuah kerajaan yang sangat jauh dari kerajaan Vowel. Gadis
itu dua tahun lebih muda dari Grace. Pada awalnya, Grace SANGAT BENCI pada Alvy
yang menurutnya manja dan cengeng. Itu karena Alvy belum bisa apa-apa. Bahkan
dia tidak bisa berenang.
“Heh..”
Grace tertawa kecil saat memorinya
membawanya kembali saat-saat Ia liburan bersama Alvy di sebuah tempat pemandian
air panas. Alvy yang sangat ingin mendapat perhatian dari Grace melompat ke
dalam salah satu kolam pemandian. Sialnya, Alvy malah melompat ke dalam kolam
pemandian orang dewasa yang kedalamannya mencapat satu setengah meter.
“Kau
itu bodoh atau bagaimana, sih?” tanya Grace kesal pada Alvy yang kini
sesenggukan di depannya.
“Kukira
airnya tidak dalam.. hiks.. soalnya, Grace saja bisa berdiri di situ, hueaaa.....”
“SOALNYA
AKU BISA BERENANG..!!!!”
“Hueaaa.....
aku sangat takut, aku kira aku akan mati.. Hueaaaa.....” Alvy masih saja
mengeluarkan air matanya dan suara ketakutannya.
“Berisik..!!
Mau sampai kapan kau menangis seperti itu?! Aku benci sekali pada anak yang
cengeng..!!”
Tapi, karena kebodohan adiknya
itulah Grace bisa hidup –setidaknya sampai kemarin. Mungkin bisa dikatakan, ‘Grace
hidup untuk melindungi Alvy dari tindak kebodohannya.’ Hingga pada akhirnya, Ia
juga mati untuk melindungi adiknya. Grace sangat menyayangi Alvy lebih dari
siapapun.
“Aku.. tidak menyesal.”
Sebuah senyuman manis kembali
terukir di wajah cantiknya.
“Grace.. waktuku untuk berada di
sini sudah habis. Ayo kita, pergi.”
Grace berbalik menatap sosok ibunya
yang berdiri sambil mengulurkan lengannya. Menunggu Grace untuk menyambutnya.
Grace masih tersenyum. Ia tahu kemana Ia akan pergi bersama sosok ibunya ini. Ke
surga, kan?
Grace berjalan perlahan menuju
ibunya. Mulai mengangkat perlahan lengannya untuk menyambut uluran tangan
ibunya. Hingga akhirnya tangan mereka saling bertautan.
“Aku
senang bisa bertemu ibu. Walau aku harus meninggalkan Alvy. Yah, mungkin dia
sedang menangis sekarang.”
“Hueaaaaaaaaaaaaaa................”
Grace menghentikan langkahnya saat
samar-samar Ia mendengar sebuah tangisan. Suara tangisan yang begitu ia kenal.
“Graaaaaaacceeee.......!!!!”
Suara itu terdengar lagi. Dan kini
suara itu memanggil namanya. Perlahan namun pasti, suara itu semakin keras di
telinga Grace.
“Ada apa, Grace?”
Grace menggeleng pelan. “Tidak apa.
Ayo!” Mereka kembali melanjutkan langkahnya. “Mungkin hanya perasaanku.”
Namun, semakin jauh mereka
melangkah suara itu justru semakin terdengar keras.
“Graaaaceee........!!! Hueaaa.....”
Grace tahu! Grace paham. Ini suara
Alvy. Suara tangisan Alvy. “Alvy?” lirihnya.
“Grace?” panggil Claraine lagi.
“Alvy.” Grace mengedarkan
pandangannya. Mencari sumber suara. “Dia... menangis. Dia memanggilku.”
Claraine diam sesaat, lalu
tersenyum. “Dia... adikmu, kan?”
Grace mengangguk. “Aku sangat
menyayanginya. Walau kami tidak memiliki darah yang sama.”
Claraine tersenyum lagi. “Karena
itu kau menyelamatkannya?”
Grace mengangguk lagi. “Aku tak
akan membiarkan dia terluka.”
Mendengar jawaban yang terlontar
dari bibir Grace, Claraine mengangguk-angguk mengerti. “Kau yakin akan
meninggalkannya? Bukannya dia akan lebih terluka jika kau pergi?”
Grace mematung.
“Kembalilah.”
Grace menoleh cepat pada ibunya. “Tapi...”
“Kau mungkin memang belum diizinkan
untuk ke sana. Masih ada banyak hal yang harus kau lakukan.”
“Tapi, Ibu..” Grace mulai
berkaca-kaca.
“Ibu akan menunggumu sampai kapan
saja. Selalu.” Perlahan, Claraine melonggarkan genggamannya pada tangan
putrinya. “Pergilah, putriku.”
Sesaat Grace terdiam. Namun, senyum
lebar itu akhirnya kembali muncul menghias wajahnya. “Ibu, terima kasih.”
Pada akhirnya, Grace melepaskan
tangan ibunya dan berlari menuju sumber suara itu.
Claraine menatap kepergian putrinya
dengan senyum di wajahnya. “Kau sudah menemukan tujuan hidupku, kan?” Ia
berbalik, menuju direksi yang sempat diacuhkannya. “Tetaplah hidup, Grace.” Langkah
itu semakin menjauh dan menjauh. Hingga gumpalan awan putih menyambut
kedatangannya.
“Waktumu habis, Meriadhe Claraine.”
Sesosok makhluk bersayap menghampirinya yang masih juga tersenyum.
“Aku mengerti.” Jawabnya. Ia mulai
melangkah memasuki gumpalan awan putih itu. Ia kembali menoleh ke belakang
sebelum dirinya benar-benar hilang di dalam awan itu. “Ibu akan selalu
menunggumu. Putriku...”
o.O.o
Sementara itu di rumah sakit, Alvy
yang baru sadar dari pingsannya kembali memangis. Ia langsung menghambur pada
pelukan Barley, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu.
“Graaaaceeee........”
“Alvy. Jangan menangis, Grace....
pasti baik-baik saja.” Suara itu berasal dari kakek tua yang kini berdiri
bersandar pada dinding di sebelah pintu.
“Hueaaa..... kakeeeeeek, G-Grace,
karena menyelamatkanku.... Hwaaa.....”
Ronna dan Zea hanya bisa menghela
nafas dan berdo’a untuk sahabatnya. Sejak Alvy bangun, telinga mereka
benar-benar tak bisa beristirahat.
“Nona Alvy. Grace pasti baik-baik
saja.”
“Hwaaa, Barley... karena
menyelamatkanku.... Graaaceeee......”
o.O.o
“Hueaaaa..... Graaaacee.....”
“Jangan
menangis, bodoh!” Grace menjerit dalam hati. “Bukankah aku sudah bilang padamu, kalau aku
tak akan mati!”
Grace tersenyum mengingat betapa
bodohnya adiknya itu. Sekilas, bayangan masa lalu kembali melintasi otaknya.
Masih di pemandian air panas tempat
Grace dan Alvy berlibur.
“SUDAH
KUBILANG KAU JANGAN MASUK KOLAM YANG SAMA DENGANKU...!!!”
“Hueaaa...
t-tapi, aku khawatir.” Alvy masih saja memangis. “Kau tidak keluar juga di permukaan,
kukira kau tenggelam. Hiks, aku takut kalau kau mati.. Hueaaa....”
“UNTUK
APA KAU MENANGIS BODOH...???!!!”
“Hueaaa......
habisnya....” Alvy mengusap air matanya yang terus mengalir.
“Aku
tak akan mati hanya karena menyelam, bodoh! Lagipula, mana mungkin aku mati
meninggalkan adik yang bodoh sepertimu..!!”
“Graaaceee.....”
Grace kembali menangkap suara Alvy.
Semakin dekat, Ia sudah berlari cukup jauh untuk sampai ke sumber suara. Ia pun
sudah tak dapat melihat sosok ibunya ketika Ia menoleh ke belakang.
Sekarang. Hanya ada satu kalimat
yang terus berputar di kepalanya. “Alvy! Jangan menangis..!!”
o.O.o
“Dokter, detak jantungnya kembali!”
Pria berbaju putih itu menghela
nafas setelah matanya melihat garis-garis pada layar monitor kembali bergerak.
Diletakkannya alat pacu jantung pada tempatnya.
“Tekanan darahnya kembali normal.”
Mendengar laporan dari perawat yang
bersamanya di ruang operasi ini, pria itu mengangkat alis. “Aku tidak mengerti.
Ini seperti keajaiban.” Ucapnya seraya terus menatap peralatan rumah sakit yang
menempel pada tubuh pasiennya. “Segera pindah ke ruang inap.” Ia mulai melepas
maskernya. “Siapa nama pasien ini?”
“Meriadhe Grace.”
-END-
-EPILOG-
“Hwaaa.... Graaaceee... aku sangat
takuuutt....!!!!” Alvy langsung berlari memeluk kakaknya setelah pintu ruang
itu dibuka. “Graaacee....” Dan menangis lagi.
“Alvy?”
Grace menatap adiknya yang
memeluknya sambil menangis.
“Kau pikir aku akan mati, ya?”
Perlahan Alvy melepas pelukannya. “Habisnyaa.....”
“UNTUK APA KAU MENANGIS SEPERTI
ITU?! SUDAH KUBILANG AKU TAK AKAN MATI MENINGGALKAN ADIK YANG BODOH SEPERTIMU!!!”
“Sudah... sudah... Alvy menangis karena bahagia.” Lerai Barley
yang masuk dengan membawa keranjang buah. “Akhirnya Nona Grace bangun juga, ya?
Oya, Tuan Dapper langsung berangkat setelah dokter bilang Grace baik-baik saja.
Ahaha....”
“Ah, kakek tua itu.”
“Yo, Grace. Senang melihatmu
baik-baik saja.” Dua orang gadis baru saja memasuki kamar inap Grace. Ronna dan
Zea. Kedua sahabat adiknya, yang menjadi sahabatnya juga. Walau usia mereka
terpaut dua tahun.
“Kalian. Jangan-jangan kalian
mengira aku akan mati juga..”
“Yaah, habisnya.” Ronna menjawab canggung
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Yaaah, yang penting sekarang kau
baik-baik saja. Ngahahaa....”
Suara tawa terdengar mengisi ruangan
Grace. Tak terkecuali Alvy. Gadis itu kini tertawa sambil memakan buah-buahan
yang dibawa Barley.
Grace tersenyum
perlahan. “Mungkin, kalau aku tidak
mendengar Alvy menangis, aku benar-benar sudah mati. Ibu, terima kasih. Aku
sangat beruntung bisa hidup di dunia ini. Dan bertemu mereka semua. Alvy. Adikku
yang bodoh. Tapi, tetap saja.. dia adikku. Aku menyayanginya.”
O.o.O
END
Yah, itu sebenarnya fanfic buatan saya. yang tokohnya Ace dan Luffy. Terus, waktu itu ada lomba bikin cerpen, fict ini yg pada saat itu belum selesai langsung kuganti tokohnya -termasuk gendernya. Jadi deeh...
Masih banyak typo sih, ya..
Yasudahlah, kritik dan saran dibutuhkan. Flame dicari..
Don't be a silent reader, please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar