Page

11.05.2012

Adikku

“Adikku”
o.O.o
Kelopak matanya tergerak saat Ia merasa seseorang menyentuh puncak kepalanya. Membelai lembut helaian ikal panjangnya dan juga wajahnya. Wangi aroma bunga mawar yang menenangkan itu juga telah sejak lama memenuhi rongga hidungnya. Saat kedua bola mata itu benar-benar telah terbangun, cahaya terang berebut masuk ke dalam penglihatannya.
Namun, cahaya terang itu tak dipedulikannya. Ia masih penasaran akan helaian pirang panjang yang berjuntai di atasnya. Juga, asal dari wangi mawar ini. Hingga pada akhirnya, wajah cantik wanita yang tersenyum padanya itu membuatnya benar-benar terbangun dari tidur nyenyaknya.
Secepat angin yang berhembus di lautan, gadis itu bangun dari posisi tidurnya dan langsung menatap wanita pirang di hadapannya penuh selidik. “Siapa kau?”. Gadis itu baru menyadari bahwa sedari tadi Ia tertidur di pangkuan wanita pirang itu. Dan, ternyata wanita itulah asal wangi mawar yang membuatnya nyaman.
“Ah, akhirnya kau bangun juga.. Grace.”
Gadis itu membelalak. “Namaku.. bagaimana kau bisa tahu namaku?” gadis bernama Grace itu menatap penuh tanya. “Siapa.. kau ini?”
“Namaku, Claraine. Meriadhe Claraine.”
Grace terdiam. Lebih tepatnya terpaku. Mendengar nama yang baru saja disebutkan wanita itu. Nama itu, Meriadhe Claraine. “M-Meriadhe?”
“Kakek, siapa orang ini?” Grace kecil menunjuk seorang wanita di dalam bingkai foto yang terletak di meja kakeknya.
“Oh, jadi kau peasaran?” tanya pria yang tersenyum padanya. “Namanya Claraine. Meriadhe Claraine.”
“Meriadhe?” Grace mengangkat alis, bingung. “Namaku juga Meriadhe. Siapa dia sebenarnya?”
“Dia itu....” pria tua itu menggantungkan kalimatnya. “Ibumu.”
“Ibu?”
Meriadhe.... Claraine.
Itu sudah lama sekali. Namun, Grace masih ingat betul nama yang pernah disebutkan oleh kakeknyanya sebagai nama ibunya. Meriadhe Claraine.
“Jadi...” Grace menggantungkan kalimatnya. “Kau...” Air mata itu mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Nah, Grace. Aku memang....”
Wanita bernama Claraine itu tak bisa melanjutkan kalimatnya saat tiba-tiba Grace memeluknya erat –sambil menangis.
“Aku... selalu, ingin bertemu ibu.. Hiks.”
Claraine membalas pelukan putrinya. “Kau sudah besar sekali, ya. Ibu rindu sekali padamu.”
Di tengah tangisnya, Grace tiba-tiba tersadar. “Ibu.” Panggilnya. Ia mulai melepas pelukannya.
“Ya?”
Tidak. Ini pasti mimpi. Dia bukan ibuku. Tak mungkin ibuku ada di sini. Ibuku... Ibuku... Ibuku sudah meninggal..!!
“Ah, aku memang sudah meninggal.”
Grace membelalakkan matanya. Dia.. bisa membaca fikiranku. “Aku... pasti mimpi.”
“Grace. Apa kau belum menyadari, dimana kau sekarang?”
Grace terdiam, lalu memandang sekitarnya. Putih. Hanya ada warna putih. Ini bukanlah kamarnya yang selalu berantakan. Bukan juga ruang makan tempat Ia biasa tertidur. Bukan juga halaman belakang rumah tempat Ia biasa duduk termenung. Lantas. Aku di mana?
“Kita, ada di..... langit.”
Lagi-lagi, Grace diam. Tak berekspresi. Mendengar pernyataan dari ibunya, gadis itu hanya diam tanpa dapat mengatakan apapun. Hingga akhirnya, fikirannya mulai kembali bekerja.
“Langit?”
Ia memutar tubuhnya. Sekali lagi, mengamati keadaan sekelilingnya. Namun, sejauh matanya dapat melihat, hanya warna putih yang ada dalam penglihatannya.
“Ya, kita berdua ada di langit.”
Grace masih terdiam. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi padanya sebelum ia bangun. Bukankah, tadi ia sedang bersama adiknya? Bukankah tadi ia sedang berjalan untuk pulang? Tunggu! Grace membulatkan matanya. Perlahan Ia menatap kembali ibnya.
“I-Ibu..” panggilnya terbata. “Apa aku... sudah... mati?”
Claraine tersenyum. “Jadi, apa yang membuatmu bisa berada di langit ini?”
o.O.o
Langit kota Abalone terlihat cerah tanpa awan. Angin berhembus pelan memainkan dedaunan pohon sakura yang tak terlihat bunganya –atau bisa disebut telah kehilangan bunganya. Musim semi telah berakhir.  Bunga matahari nampak menghiasi setiap sisi kota. Musim panas ini benar-benar indah.
Abalone bukanlah kota yang besar. Namun, tidak bisa disebut kota kecil juga. Kota Abalone berada di kawasan kerajaan Vowel di pulau Pasteurize. Kota yang menjadi pusat kerajaan Vowel berada di balik pegunungan Arubei yang terletak di samping kota Abalone. Namun, kehidupan kota ini sangat cukup untuk disebut sebagai kota yang makmur.
Di pusat kota. Tepatnya di sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di kota ini, dua orang gadis tengah duduk di depan ruang UGD. Seorang gadis pirang bernama Ronna, dan gadis bermata tajam bernama Zea. Baik Ronna maupun Zea, pakaian kedua gadis ini dipenuhi bercak-bercak darah.
“Bagaimana Alvy?”
Ronna menoleh pada sahabatnya. “Dia shock. Sekarang pingsan.”
Zea menghela nafas berat. Disibakkannya poni yang menutupi sedikit penglihatannya. “Bagaimanapun juga, aku tidak menyangka Grace melakukan itu.”
“Tidak heran. Grace sangat menyayangi Alvy, kan?” Ronna menyilangkan kedua lengannya di depan dada. “Persaudaraan yang benar-benar keren.”
“Ngomong-ngomong, kau sudah hubungi kakek Dapper dan Barley, kan?”
Ronna menarik ponselnya dari saku jaketnya. Ah, jaket itu benar-benar penuh dengan darah. “Aku sudah hubungi Barley. Mungkin sekarang sudah ada di perjalanan. Tapi, kakek Dapper tidak bisa dihubungi.”
Zea menghela nafas berat. “Jujur saja, aku agak ragu Grace bisa bertahan.” Ia sekilas melihat telapak tangannya, masih ada jejak darah di sana. “Dia bah-”
“Kesannya kau malah menginginkan dia untuk tidak bertahan.” Ronna menatap tajam gadis yang duduk di sebelahnya.
“Hei, hei. Aku hanya ragu. Memangnya kau tidak lihat luka di kepalanya?” Zea berusaha membela dirinya. “Dia bahkan terpental jauh, kan?”
Ronna diam. Mau tak mau, Ia meng-iyakan juga kata-kata sahabatnya. “Tapi, kalau itu terjadi, Alvy.... dia pasti.....” Ronna tidak melanjutkan kata-katanya, Ia hanya bisa menunduk.
“Melihat adiknya hampir celaka seperti itu, Grace pasti tidak akan diam, kan? Itu sebabnya dia berlari dan menyelamatkan Alvy. Walau akhirnya malah dia yang tertabrak bus sialan itu.”
“Eh, kudengar supirnya mabuk, kan?”
“Bukannya kau melihatnya ju-”
Kata-kata Zea tak dapat dilanjutkan karena tiba-tiba seseorang memanggil nama mereka berdua.
“Nona Zea, Nona Ronna!”
Keduanya menoleh. Menatap sosok wanita berambut coklat yang tengah berlari kecil menuju ke arah mereka. Wanita itu adalah pengasuh kedua sahabat Ronna dan Zea yang kini tengah berada di ruangan UGD. Dan, wanita itu juga yang selalu memanggil keempatnya dengan sebutan ‘Nona’ sejak mereka berkunjung dulu –dulu sekali.
“Barley?”
“Bagaimana keadaan Nona Grace? Lalu, dimana Nona Alvy?” tanya wanita itu cepat-cepat.
“G-Grace... dokter belum keluar sejak tadi.” Jawab Ronna agak terbata. “Kalau Alvy, dia shock. Sekarang dia pingsan.”
“Ya Tuhan, selamatkanlah Nona Grace.” Wanita it menangkupkan kedua tangannya di depan dada, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar mengabulkan permintaanya.
o.O.o
“Tunggu! Alvy...!!!!!!!!”
BRUAAAKKK....!!!!!
Grace menghela nafas untuk kesekian kali. “Jadi, akhirnya keinginanku terkabulkan juga.”
Kematian. Hal yang –dulu- sangat diinginkannya. Bukan karena gadis ini tidak bisa bersyukur diberi kehidupan, Ia hanya tidak tahu... tujuan hidupnya. Orang tua, sesuatu yang sangat dibutuhkan seorang anak saat kesulitan. Orang yang menghiburnya ketika ia kesepian. Orang yang akan memberikan kasih sayang, Ia tak pernah mendapatkan itu. Ayahnya, meninggal bahkan saat Ia belum dilahirkan. Ibunya –yang kini berdiri tak jauh darinya- meninggal setelah melahirkannya.
Sejak kecil, Ia dirawat oleh Barley. Barley, yang mungkin wanita itu bisa Ia anggap sebagai ibu-angkatnya. Karena wanita itu menyayanginya. Wanita itu baik padanya. Dan, kakek Dapper. Kakek tua berwajah sangar itu sebenarnya tidak pantas disebut kakek. Grace selalu saja mendapat hadiah cubitan saat orang tua itu datang mengunjunginya di rumah Barley. Yah, sebenarnya kakek tua itulah yang menitipkan Grace pada Barley. Kesibukannya sebagai Vice-Admiral angkatan laut itu memang sangat tidak memungkinkan Ia untuk merawat Grace.
Lalu, Alvy. Gazeouse Alvy. Gadis itu dititipkan –oleh kakek tua Dapper- pada Barley setelah kurang lebih Grace berusia sepuluh tahun. Sama seperti Grace, gadis cilik itu juga tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Kedua orang tuanya tidak tinggal di pulau yang sama. Melainkan, di sebuah kerajaan yang sangat jauh dari kerajaan Vowel. Gadis itu dua tahun lebih muda dari Grace. Pada awalnya, Grace SANGAT BENCI pada Alvy yang menurutnya manja dan cengeng. Itu karena Alvy belum bisa apa-apa. Bahkan dia tidak bisa berenang.
“Heh..”
Grace tertawa kecil saat memorinya membawanya kembali saat-saat Ia liburan bersama Alvy di sebuah tempat pemandian air panas. Alvy yang sangat ingin mendapat perhatian dari Grace melompat ke dalam salah satu kolam pemandian. Sialnya, Alvy malah melompat ke dalam kolam pemandian orang dewasa yang kedalamannya mencapat satu setengah meter.
“Kau itu bodoh atau bagaimana, sih?” tanya Grace kesal pada Alvy yang kini sesenggukan di depannya.
“Kukira airnya tidak dalam.. hiks.. soalnya, Grace saja bisa berdiri di situ, hueaaa.....”
“SOALNYA AKU BISA BERENANG..!!!!”
“Hueaaa..... aku sangat takut, aku kira aku akan mati.. Hueaaaa.....” Alvy masih saja mengeluarkan air matanya dan suara ketakutannya.
“Berisik..!! Mau sampai kapan kau menangis seperti itu?! Aku benci sekali pada anak yang cengeng..!!”
Tapi, karena kebodohan adiknya itulah Grace bisa hidup –setidaknya sampai kemarin. Mungkin bisa dikatakan, ‘Grace hidup untuk melindungi Alvy dari tindak kebodohannya.’ Hingga pada akhirnya, Ia juga mati untuk melindungi adiknya. Grace sangat menyayangi Alvy lebih dari siapapun.
“Aku.. tidak menyesal.”
Sebuah senyuman manis kembali terukir di wajah cantiknya.
“Grace.. waktuku untuk berada di sini sudah habis. Ayo kita, pergi.”
Grace berbalik menatap sosok ibunya yang berdiri sambil mengulurkan lengannya. Menunggu Grace untuk menyambutnya. Grace masih tersenyum. Ia tahu kemana Ia akan pergi bersama sosok ibunya ini. Ke surga, kan?
Grace berjalan perlahan menuju ibunya. Mulai mengangkat perlahan lengannya untuk menyambut uluran tangan ibunya. Hingga akhirnya tangan mereka saling bertautan.
“Aku senang bisa bertemu ibu. Walau aku harus meninggalkan Alvy. Yah, mungkin dia sedang menangis sekarang.”
“Hueaaaaaaaaaaaaaa................”
Grace menghentikan langkahnya saat samar-samar Ia mendengar sebuah tangisan. Suara tangisan yang begitu ia kenal.
“Graaaaaaacceeee.......!!!!”
Suara itu terdengar lagi. Dan kini suara itu memanggil namanya. Perlahan namun pasti, suara itu semakin keras di telinga Grace.
“Ada apa, Grace?”
Grace menggeleng pelan. “Tidak apa. Ayo!” Mereka kembali melanjutkan langkahnya. “Mungkin hanya perasaanku.
Namun, semakin jauh mereka melangkah suara itu justru semakin terdengar keras.
“Graaaaceee........!!! Hueaaa.....”
Grace tahu! Grace paham. Ini suara Alvy. Suara tangisan Alvy. “Alvy?” lirihnya.
“Grace?” panggil Claraine lagi.
“Alvy.” Grace mengedarkan pandangannya. Mencari sumber suara. “Dia... menangis. Dia memanggilku.”
Claraine diam sesaat, lalu tersenyum. “Dia... adikmu, kan?”
Grace mengangguk. “Aku sangat menyayanginya. Walau kami tidak memiliki darah yang sama.”
Claraine tersenyum lagi. “Karena itu kau menyelamatkannya?”
Grace mengangguk lagi. “Aku tak akan membiarkan dia terluka.”
Mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Grace, Claraine mengangguk-angguk mengerti. “Kau yakin akan meninggalkannya? Bukannya dia akan lebih terluka jika kau pergi?”
Grace mematung.
“Kembalilah.”
Grace menoleh cepat pada ibunya. “Tapi...”
“Kau mungkin memang belum diizinkan untuk ke sana. Masih ada banyak hal yang harus kau lakukan.”
“Tapi, Ibu..” Grace mulai berkaca-kaca.
“Ibu akan menunggumu sampai kapan saja. Selalu.” Perlahan, Claraine melonggarkan genggamannya pada tangan putrinya. “Pergilah, putriku.”
Sesaat Grace terdiam. Namun, senyum lebar itu akhirnya kembali muncul menghias wajahnya. “Ibu, terima kasih.”
Pada akhirnya, Grace melepaskan tangan ibunya dan berlari menuju sumber suara itu.
Claraine menatap kepergian putrinya dengan senyum di wajahnya. “Kau sudah menemukan tujuan hidupku, kan?” Ia berbalik, menuju direksi yang sempat diacuhkannya. “Tetaplah hidup, Grace.” Langkah itu semakin menjauh dan menjauh. Hingga gumpalan awan putih menyambut kedatangannya.
“Waktumu habis, Meriadhe Claraine.” Sesosok makhluk bersayap menghampirinya yang masih juga tersenyum.
“Aku mengerti.” Jawabnya. Ia mulai melangkah memasuki gumpalan awan putih itu. Ia kembali menoleh ke belakang sebelum dirinya benar-benar hilang di dalam awan itu. “Ibu akan selalu menunggumu. Putriku...”
o.O.o
Sementara itu di rumah sakit, Alvy yang baru sadar dari pingsannya kembali memangis. Ia langsung menghambur pada pelukan Barley, wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu.
“Graaaaceeee........”
“Alvy. Jangan menangis, Grace.... pasti baik-baik saja.” Suara itu berasal dari kakek tua yang kini berdiri bersandar pada dinding di sebelah pintu.
“Hueaaa..... kakeeeeeek, G-Grace, karena menyelamatkanku.... Hwaaa.....”
Ronna dan Zea hanya bisa menghela nafas dan berdo’a untuk sahabatnya. Sejak Alvy bangun, telinga mereka benar-benar tak bisa beristirahat.
“Nona Alvy. Grace pasti baik-baik saja.”
“Hwaaa, Barley... karena menyelamatkanku.... Graaaceeee......”
o.O.o
“Hueaaaa..... Graaaacee.....”
“Jangan menangis, bodoh!” Grace menjerit dalam hati. “Bukankah aku sudah bilang padamu, kalau aku tak akan mati!”
Grace tersenyum mengingat betapa bodohnya adiknya itu. Sekilas, bayangan masa lalu kembali melintasi otaknya.
Masih di pemandian air panas tempat Grace dan Alvy berlibur.
“SUDAH KUBILANG KAU JANGAN MASUK KOLAM YANG SAMA DENGANKU...!!!”
“Hueaaa... t-tapi, aku khawatir.” Alvy masih saja memangis. “Kau tidak keluar juga di permukaan, kukira kau tenggelam. Hiks, aku takut kalau kau mati.. Hueaaa....”
“UNTUK APA KAU MENANGIS BODOH...???!!!”
“Hueaaa...... habisnya....” Alvy mengusap air matanya yang terus mengalir.
“Aku tak akan mati hanya karena menyelam, bodoh! Lagipula, mana mungkin aku mati meninggalkan adik yang bodoh sepertimu..!!”
“Graaaceee.....”
Grace kembali menangkap suara Alvy. Semakin dekat, Ia sudah berlari cukup jauh untuk sampai ke sumber suara. Ia pun sudah tak dapat melihat sosok ibunya ketika Ia menoleh ke belakang.
Sekarang. Hanya ada satu kalimat yang terus berputar di kepalanya. “Alvy! Jangan menangis..!!”
o.O.o
“Dokter, detak jantungnya kembali!”
Pria berbaju putih itu menghela nafas setelah matanya melihat garis-garis pada layar monitor kembali bergerak. Diletakkannya alat pacu jantung pada tempatnya.
“Tekanan darahnya kembali normal.”
Mendengar laporan dari perawat yang bersamanya di ruang operasi ini, pria itu mengangkat alis. “Aku tidak mengerti. Ini seperti keajaiban.” Ucapnya seraya terus menatap peralatan rumah sakit yang menempel pada tubuh pasiennya. “Segera pindah ke ruang inap.” Ia mulai melepas maskernya. “Siapa nama pasien ini?”
“Meriadhe Grace.”


-END-




-EPILOG-

“Hwaaa.... Graaaceee... aku sangat takuuutt....!!!!” Alvy langsung berlari memeluk kakaknya setelah pintu ruang itu dibuka. “Graaacee....” Dan menangis lagi.
“Alvy?”
Grace menatap adiknya yang memeluknya sambil menangis.
“Kau pikir aku akan mati, ya?”
Perlahan Alvy melepas pelukannya. “Habisnyaa.....”
“UNTUK APA KAU MENANGIS SEPERTI ITU?! SUDAH KUBILANG AKU TAK AKAN MATI MENINGGALKAN ADIK YANG BODOH SEPERTIMU!!!”
“Sudah... sudah...  Alvy menangis karena bahagia.” Lerai Barley yang masuk dengan membawa keranjang buah. “Akhirnya Nona Grace bangun juga, ya? Oya, Tuan Dapper langsung berangkat setelah dokter bilang Grace baik-baik saja. Ahaha....”
“Ah, kakek tua itu.”
“Yo, Grace. Senang melihatmu baik-baik saja.” Dua orang gadis baru saja memasuki kamar inap Grace. Ronna dan Zea. Kedua sahabat adiknya, yang menjadi sahabatnya juga. Walau usia mereka terpaut dua tahun.
“Kalian. Jangan-jangan kalian mengira aku akan mati juga..”
“Yaah, habisnya.” Ronna menjawab canggung sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Yaaah, yang penting sekarang kau baik-baik saja. Ngahahaa....”
Suara tawa terdengar mengisi ruangan Grace. Tak terkecuali Alvy. Gadis itu kini tertawa sambil memakan buah-buahan yang dibawa Barley.
Grace tersenyum perlahan. “Mungkin, kalau aku tidak mendengar Alvy menangis, aku benar-benar sudah mati. Ibu, terima kasih. Aku sangat beruntung bisa hidup di dunia ini. Dan bertemu mereka semua. Alvy. Adikku yang bodoh. Tapi, tetap saja.. dia adikku. Aku menyayanginya.” 
O.o.O
 END

Yah, itu sebenarnya fanfic buatan saya. yang tokohnya Ace dan Luffy. Terus, waktu itu ada lomba bikin cerpen, fict ini yg pada saat itu belum selesai langsung kuganti tokohnya -termasuk gendernya. Jadi deeh...
Masih banyak typo sih, ya..
 Yasudahlah, kritik dan saran dibutuhkan. Flame dicari..

Don't be a silent reader, please..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar